Oleh:
Farid Halimi,
tinggal di Ndalem Kanoman Menturo Sumobito Jombang.
Belajar Tepat Kapan Ngegas dan Ngerem Dalam Hidup !!
“Rid.. ojo ke-set (jangan malas), hidup kudu obah (bergerak), ada yang rusuh (kotor) dibersihkan, diumba (dicuci). “Aku mbiyen yo umbah-umbah klambi dhewe (cuci baju sendiri) sesibuk apapun diatur waktunya, harus setia dan disiplin pada hidup.”
Itu adalah contoh nasehat yang kerap disampaikan Cak Nun buat saya, adik bungsu nya dari 15 bersaudara.
Saya beruntung, selama berinteraksi mendapat banyak wejangan Cak Nun.
Bagi saya, Cak Nun adalah manusia detail, ibaratnya tiap kata, kalimat, alinea sampai paragraf harus adil dan bisa dipertanggung- jawabkan.
Contoh kecil lainya: Saya pernah memboncengkan beliau dengan motor dari Desa Kasihan menuju Kraton Ambarbinangun daerah Sonosewu Yogya.
Jaraknya dekat, sekitar 3 kilo meter. Karena sudah ditunggu untuk latihan Kiai Kanjeng, saya mengajak dia, tidak usah pakai helm.
Ternyata, Cak Nun tidak sepakat. Dia suruh cari helm dulu, dan setelah berangkat, motor saya saya “gas pol”.
Ketika sampai di perempatan lampu merah “Ring Road” daerah Kasihan, saya menerobos lampu merah, karena saya berfikir kita sedang terburu buru.
Disitulah Cak Nun marah, “Ojo dibaleni Rid, kudu taat. Walau tergesa harus disiplin.Ini berlaku luas buat hidup, aturan jangan dilanggar, walau ada peluang, karena bisa merugikan sekitar. iki penting gawe awakmu (buat kamu) kedepan menaklukan hidup” pelajaran kecil tapi berharga, gara-gara menyerobot lampu merah itu masih tertanam sampai sekarang.
Pelajaran lain yang diajarkan Cak Nun adalah soal keberanian membela kebenaran.
Ibu saya cerita kalau Cak Nun sejak usia SD bahkan sudah berani protes sama Guru yang seenaknya datang terlambat, padahal dia melarang muridnya telat.
Masih kata Ibu, saat Cak Nun mondok di Gontor, dia juga pernah memimpin demo santri (protes) perilaku Ustadz yang hidup bermewah dengan makanan lezat, padahal santri di suruh “tirakat” hidup sederhana. Hingga orang tua kita dipanggil ke Pesantren.
Disinilah, saya pahami kalimat Cak Nun betapa dalam menjalani hidup itu, harus tepat kapan “NgeGas kapan NgeRem” agar balance, tepat dan adil.
Cak Nun pernah bilang “dakwah itu bukan hanya tuturan kata-kata agamis yang dikemas sedemikian rupa, tindakanmu yang baik itu sudah termasuk berdakwah.
Salah satu ciri khas Cak Nun adalah mengajak kita untuk selalu bersyukur.
Karena agama itu kabar gembira. Makanya kalau pengajian harusnya mengajak jamaah bahagia.
Tidak tegang menghardik satu sama lain. Cak Nun mengibaratkan mereka sebagai “panitia hari kiamat dan sorga neraka”
Maka 67 tahun usia beliau Cak Nun begitu panjang untuk dicatatkan prosesnya.
Cak Nun rela menjadi manusia ruang. Mau menampung semuanya, sebagai keranjang sampah, sampai tidak ada tempat bagi dirinya sendiri.
Semua eksistensinya dibuang. Silahkan mau sebut budayawan, penyair, kyai, terserah.
Sebutan itu nggak penting. Tuhan juga nggak ngurusi gelar manusia, yang penting bermanfaat bagi orang lain.
Atas semua hal, saya selalu ingat puisi Mbah Mus (Mustofa Bisri) tentang sosok Cak Nun:
Santri tanpa sarung,
Haji tanpa peci,
Kiai tanpa sorban,
Dai tanpa mimbar,
Mursyid tanpa tarekat,
Sarjana tanpa wisuda,
Guru tanpa sekolahan,
Aktifis tanpa LSM,
Pendemo tanpa spanduk,
Politisi tanpa partai,
Wakil rakyat tanpa dewan,
Pemberontak tanpa senjata,
Kstaria tanpa kuda,
Saudara tanpa hubungan darah.
Saya secara pribadi merasakan ketepatan ungkapan Gus Mus ini, Cak Nun bukan ulama, tapi kualitasnya lebih dari ulama.
Cak Nun “ngantor” menemui jamaah hampir 24 jam tiap hari. Sakit pun tetap berangkat. Bagi orang seperti Cak Nun, sakit itu anugerah, sama seperti sehat.
Hampir setiap hari saya di Ndalem Kasepuhan padang bulan Menturo - Jombang menerima tamu yang ingin bertemu Cak Nun (walau Cak Nun sendiri tidak di tempat) dengan berbagai macam keperluan.
Begitu juga kalau di Jogja. Pada setiap puncak forum pengajian/Maiyahan Cak Nun hampir tiap hari
kerjanya meniup air mineral yang disodorkan oleh para 'pasien' Jamaah.
Cak Nun sadar, beliau tidak bisa menyembuhkan, tapi juga tidak bisa menolak mereka.
Untuk masalah ini, Cak Nun pernah bilang. "Ya Allah Engkau yang mendatangkan mereka dan kau yang memberikan ide pada mereka untuk datang ke saya. Jadi kau yang bertanggung jawab. Tolong sembuhkan mereka."
Bagi saya pribadi yang paling asyik dari Cak Nun adalah pemikirannya yang revolusioner.
Melampaui zaman nya. Kita lihat ke belakang, beliau yang begitu gigih memperjuangkan jilbab dimana-mana.
Saat perusahaan dan kampus - kampus melarang karyawan atau mahasiswi nya berjilbab.
Sampai begitu pede mementaskan drama kolosal "Lautan Jilbab" (1987), padahal saat itu hanya ada segelintir orang yang berjilbab.
Lihatlah sekarang, “hijaber” memenuhi penjuru negeri. Istilah nya nggak cuman lautan tapi samudera jilbab.
Tapi sedikit yang tahu siapa pahlawan dibalik kemerdekaan berjilbab.
Cak Nun juga yang datang di tengah konflik antara orang Dayak dan Madura. Dan sukses mendamaikan mereka.
Juga waktu kasus waduk Kedungombo. Belum lagi soal peranan beliau menjelang Reformasi Mei 1998 saat membujuk Pak Harto turun.
Diksinya ketika itu begitu popular “Gak dadi presiden Gak pathek en'
Tapi ya sudahlah.. sebagai adik bungsu, saya selalu kangen menunggu momentum ucapan Cak Nun ketika pulang ke rumah keluarga Jombang, saat Majelis Padhang Mbulan digelar setiap malam bulan purnama
"Rid biasae ya, kopi panas" dan saya tersenyum, karena tau betul takaran pahitnya racikan kopi beliau.
Akhirnya Sugeng ambal warso Cak, Semoga tetep istiqomah menemani dan membesarkan hati rakyat.
Memberi alternatif cara berpikir yang terbuka. Yang sangat membuka pori-pori kecerdasan. Menentramkan, Takdzim.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.