“Bukankah di masa kecil dulu, kita tidak pernah mendengar ada masalah dalam hal kerukunan hidup bermasyarakat, dalam hubungan antar-penduduk desa yang berbeda agama, misalnya.
Semuanya rukun, saling menghormati. Atau kita masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti itu? Barangkali demikian,” katanya lagi menyinggung soal agama, karena ia memang ahli dalam bidang agama.
Ia masih melanjutkan, “Dalam refleksi saya saat ini, waktu itu agama benar-benar memberdayakan para penganutnya untuk membangun masyarakat yang rukun, yang saling membantu, yang solider dengan mereka yang miskin, yang lemah, yang menderita, yang tidak berdaya, yang sedang didera derita.
“Agama juga menjadi pendorong umatnya untuk membangun masyarakat yang aman dan damai, saling menghormati, saling peduli, bersama-sama melawan ketidakadilan, melawan penindasan, melawan kebodohan, dan pendek kata agama mendorong terciptanya kesejahteraan bersama.”
“Semua itu terjadi,” ia masih melanjutkan khotbahnya, “mungkin karena pada waktu itu penduduk desa, mungkin juga di kota-kota, menyadari dan menjalankan prinsip-prinsip hidup beragama secara benar, tidak hanya diomongkan, tidak hanya diteriakkan, tetapi benar-benar dijalankan dalam praktik hidup sehari-hari.
Misalnya, dalam hal kepemilikan harta, meminjam rumusan orang-orang pinter sekarang ini, masyarakat pada waktu itu sudah memiliki kesadaran bahwa harta itu berfungsi sosial. Artinya, harta pribadi diharapkan membawa manfaat bagi semua orang.”
“Kalau kamu bertanya, mengapa bisa seperti itu? Jawabannya jelas, bukankah agama mengajarkan, orang yang menimbun harta bagi dirinya sendiri, ia tidak kaya di hadapan Gusti Allah,” katanya sambil menambahkan, “Kalau Rene Descartes bapak filsafat moderen yang hidup antara 1596 hingga 1650 mengatakan, ‘Cogito ergo sum’, aku berpikir maka aku ada, maka prinsip orang, prinsip masyarakat pada waktu itu adalah ‘saya berbagi, maka saya ada’,”
Lalu, ia melanjutkan, “apalagi orang Jawa memegang filsafah hidup, urip mung mampir ngombe, orang hidup di dunia itu hanya sebentar ibarat kata seperti orang minum saja. Ada yang mengatakan, urip mung sak wengi, hidup cuma selama. Karena sebentar, maka hidup harus benar-benar bermakna, bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Begitu nasihat orang-orang tua.
Karena itu, untuk membuatnya hidupnya bermakna, urip iku urup, hendaknya hidup itu bermanfaat bagi orang lain, maka orang lalu mentransformasikan apa yang dimilikinya, apa itu harta, kekayaan, kekuasaan, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya untuk menjadi ‘harta’ di hadapan Gusti Allah.”
“Kalau orang Jawa memegang filsafah urip mung mampir ngombe, urip iku urup, untuk mengingatkan bahwa hidup itu harus berarti, bermakna, maka dalam rumusan lain Benjamin Franklin (1706-1790), salah satu Bapak Bangsa Amerika Serikat mengatakan, ‘Jika kamu tidak mau segera dilupakan setelah kamu mati, tulislah sesuatu yang layak dibaca atau lakukanlah sesuatu yang layak untuk ditulis’,” katanya.
Pepatah mengatakan “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Apakah nama baik atau nama buruk yang ditinggalkan? Tergantung orangnya.
Dalam cerita orang kaya dan Lazarus, yang dikenal orang hanya Lazarus. Sementara orang kaya yang pelit, tak memiliki belarasa, misericordia (belas-kasihan), kemurahan, kedermawanan terhadap Lazarus yang miskin, sama sekali tidak dikenal namanya.
“Sekarang ini, untuk bisa dikenal, terutama dikenang karena rasa belarasanya, kedermawanannya, kemurahan hatinya yang tinggi, atau karena uripe urup, sangat mudah. Yakni dengan mendermakan kekayaannya, harta miliknya untuk membantu pemerintah mengatasi pandemi Covid-19, membantu mereka yang kehilangan pekerjaan, mereka yang kehilangan gantungan hidupnya, apalagi setelah nanti pandemi ini berhasil diatasi.
Bukan justru sebaliknya, menutup pintu rapat-rapat rumah-rumah mewah mereka, dan benar-benar nggak peduli pada dunia luar, pada penderitaan orang lain,” katanya serius.
Banyak contoh di tingkat internasional. Dua bintang sepak bola dunia, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, mendonasikan bantuan untuk melawan Covid-19. Langkah serupa juga dilakukan legenda tenis dunia Roger Federer.
Orang-orang kaya dunia pun, seperti Bill Gate, Elon Musk, Jack Ma, Jack Dorsey, Jeff Bezos, James Dyson, Marc Benioff, dan Mark Zuckerberg, sekadar menyebut nama, merelakan harta mereka untuk membantu melawan Covid-19.
Memang, orang-orang kaya, para konglomerat, para pesohor di negeri ini juga sudah ada yang melakukan hal yang sama. Tetapi, mungkin masih ada yang belum atau mungkin mereka tidak berteriak-teriak. “Mungkin mereka membantu tetapi diam-diam saja.
Karena mengikuti kata-kata bijak, ‘selagi memberi sedekah, jangan biarkan tangan kirimu mengetahui apa yang tangan kananmu lakukan, sehingga sedekahmu itu ada dalam ketersembunyian, dan Gusti Allah yang melihat dalam ketersembunyian, akan membalas dalam keterbukaan’,” katanya sambil menambahkan, “Tetapi, semoga semakin banyak yang terketuk hatinya untuk membantu sesama, yang memang membutuhkan bantuan.”
“Semoga,” komentar saya pendek.
“Kita semua tahu, saat ini dunia dalam keadaan perang. Bukan perang agama. Sebab, bukankah semua agama menginginkan perdamaian. Dunia berada dalam keadaan perang, karena hilangnya perdamaian.
Perdamaian bisa hilang bukan hanya karena perang, melainkan juga karena korupsi, ketidakadilan, diskriminasi rasial, perbenturan kepentingan, kebodohan, perdagangan manusia, kemiskinan dan ketidakpedulian terhadap sesama. Saat ini rasanya kepedulian sosial, kepedulian kepada sesama, sangat dibutuhkan.
Kita harus berpikir, bersikap, berkata dan berbuat menurut prinsip solidaritas, artinya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing hidup berbelarasa dengan sesame. Bukankah begitu?” katanya.
Lalu ia tertawa lepas, seperti biasanya. Dan, akhirnya ia mengatakan, “Wis yo, aku wis ngantuk. Aku sudah ngantuk.”
“Baik, terima kasih. Selamat malam dan istirahat,” jawab saya sambil membatin, “Kamu, kawan lamaku yang baik hati, selalu mau berbagi ilmu.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.