Oleh Trias Kuncahyono
Pertemuan kamis pagi itu, tidak dalam agenda. Kami berjumpa di Stasiun Tugu, Yogyakarta, sama-sama menunggu KA Prameks (Solo – Kutoarjo PP). Meskipun, tujuan kami berbeda: Klaten dan Solo.
Di dalam kereta kami duduk berdampingan. Begitu kereta bergerak meninggalkan Stasiun Tugu, pada pukul 09.09, ia mulai bercerita. “Pak, pernah mendengar istilah nandur demit, belum?” tanyanya mengawali ceritanya.
Tanpa menunggu jawaban, mahasiswa Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma – Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta itu melanjutkan ceritanya bahwa sekarang ini sedang menyusun tesis tentang ekologi.
Untuk menyusun tesis tentang lingkungan hidup itu, program penghijuan di Baturetno menjadi obyek penelitiannya.
Sejak sekitar 10 tahun silam, di Baturetno dijalankan program penghijauan dengan menanam pohon beringin. Beringin merupakan tanaman yang memiliki kemampuan hidup dan beradaptasi bagus pada berbagai kondisi lingkungan.
Bila di hutan, keberadaan tanaman beringin bisa dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan. Beringin juga merupakan tanaman yang memiliki umur sangat tua. Tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun.
Beringin termasuk tanaman yang menyimpan air. Indikasinya tidak menggugurkan daunnya meski musim kemarau. Kerabat beringin, seperti pohon preh, banyak tumbuh di sekitar mata air. Kayu pohon ini tidak termasuk kayu komersial, misalnya dijadikan arang.
Hal itu bagus karena tidak menarik bagi pembalak liar. Ini merupakan alasan para pecinta lingkungan untuk menanam beringin dalam program penghijauan, normalisasi daerah aliran sungai, penghijauan sekitar mata air atau reboisasi.
Oleh karena tidak termasuk pohon yang kayunya bernilai ekonomis, komersial, maka juga kurang menarik bagi penduduk. Penduduk maunya menanam pohon yang bisa mendatangkan uang, sengon misalnya. Itu salah satu hambatan di awal program reboisasi.
”Ada soal lain, yang lebih menarik,” katanya.
Ada sementara penduduk yang menganggap menanam beringin sama saja nandur demit, menanam demit. Ini berangkat dari kepercayaan masyarakat bahwa demit, mahkluk halus seperti memedi, dhemit (demit) baureksa, dhanyang dan sebagainya, senang tinggal di pohon-pohon besar seperti beringin.
Memedi dalam bahasa Jawa berasal dari kata wedi (takut). Memedi berarti hal- hal yang membuat takut. Dhemit berarti halus, sangat kecil. Berarti dhemit adalah sesuatu yang tak tervisualkan atau tak kasat mata. Baureksa dan dhanyang berarti penunggu. Semua kata tersebut berkonotasi pada dunia roh dan reinkarnasi.
Kepercayaan terhadap kehidupan makhluk halus seperti itu ada di mana-mana.
Orang jawa, misalnya, menjaga hubungan dengan makhluk halus. Dunia roh serta makhluk halus tetap dipercayai dari zaman ke zaman.
Dalam masayarakat Jawa (juga masyarakat lain) tumbuh atau hidup kepercayaan akan dunia magis. Hantu adalah salah satunya. Roh halus atau hantu seolah hidup berdampingan dengan dunia manusia (Jawa) hingga saat ini.
Itulah sebabnya menanam beringin dianggap sebagai nandur demit, menaman demit. Padahal, tujuannya untuk memelihara lingkungan hidup, penyimpan air.
Tentang demit, makhluk halus itu ada pula dalam kisah pewayangan. Misalnya, dalam Kakawin Sena, diceritakan tentang nama-nama mahluk halus Jawa seperti dhengen, kekeblek, wewe, banaspati, gandarwa dan sebagainya.
Makhluk- makhluk seperti inilah yang menjadi penghalang langkah Bima menemukan arti kehidupan sejati. Epos Kekawin Sena menceritakan kisah tentang perjalanan suci tokoh Bima untuk menemukan arti kesempurnaan hidup.
Kisah lain yakni tentang tokoh Batari Durga, yang semula adalah Dewi Umayi istri Batara Guru.
Batari Durga dititahkan menjadi istri Betara Kala. Ia memperoleh pekerjaan merajai beberapa gandarwa, setan serta makhluk halus yang jahat yang lain. Perkawinannya dengan Batara Kala, menurunkan Kala Yawana, Kala Durgangsa, Jaramaya, Ranumaya serta ada banyak lagi putra-putra yang lain.
Watak Batari Durga benar-benar jahat lantaran ia mengemban pekerjaan menggoda orang yang baik budi. Batari Durga bertakhta di Setragandamayit, yang bermakna tempat pengasingan berbau mayat. Durga berupa raksasa, bermata iblis.
Namun, meskipun kerap dilukiskan jahat, bengis, serta menakutkan, sebagian sekte agama di India, terlebih di lokasi utara, memujanya sebagai dewi pelindung. Mereka yakin Durga yaitu Dewi Penolong untuk orang yang tengah terkena musibah atau mungkin menanggung derita lantaran satu perlakuan yg tidak adil.
Hingga kini, manusia mempercayai bahwa di luar dirinya ada makhluk-makhluk halus, gaib, yang tidak tampak oleh mata telanjang. Dunia semacam ini, bisa jadi menjadi nyata dengan penampakan gejalanya seperti lewat jailangkung, nini thowong, tenung, kesurupan, ajian-ajian seperti kekebalan dan sebagainya.
Bahkan, dunia makhluk halus itu juga melahirkan kreativitas. Misalnya, dengan adanya banyak film horor yang kini menjadi salah satu genre film yang populer dan diminati para penikmat film di seluruh dunia.
Film seperti ini menyajikan sensasi yang berbeda. alur ceritanya pun beragam mulai dari kisah hantu/setan, ilmu sihir/mistis, boneka misterius, dan berbagai macam alur cerita lain yang tentunya membuat anda menahan nafas.
Di Indonesia, misalnya, ada Pengabdi Setan, Titisan Setan, Keramat, Pogong, Sundel Bolong dan sebagainya. Dari Hollywood pun muncul, misalnya, The Ring, Paranormal Activity, The Grudge, dan The Amityville Horror
Salah satu bukti bahwa manusia mempercayai bahwa di luar dirinya ada makhluk halus antara lain dengan adanya kalimat dhemit ora dhulit, setan ora doyan.
Baca Juga : Kumpulan tulisan Trias Kuncahyono
Kalimat atau mantra tersebut bisa dikatakan sebagai ungkapan harapan agar manusia yang hidup di dunia ini hendaknya terhindar dari gangguan makhluk-makhluk halus, seperti dhemit dan juga serta (nafsu-nafsu jahat, nafsu angkara murka, keserahakan (kekayaan dan juga kekuasaan) yang menjadi sifat-sifat dhemit.
Harapan seperti itu, penting. Sebab, menurut budayawan dan rohaniwan Sindunata, manusia tidak hidup hanya dalam dunia yang terang, tetapi juga dunia yang gelap.
Kegelapan itu sering tidak bisa diraba tetapi selalu mendikte manusia, entah dalam perbuatan menuruti baik itu hawa nafsu, kejahatan, maupun keserakahan dalam berbagai hal, yang belakangan ini semakin kentara dan mencolok mata. Misalnya, sikap intoleran, korupsi, juga kejahatan-kejahatan lewat dunia maya dengan menyerbarkan berita bohong, hoaks, dan kebencian, serta sikap-sikap dan tingakan bertanggung jawab lainnya yang merugikan orang lain.
Perilaku kejahatan, nandur demit itu, dapat dapat dilakukan oleh orang-orang dari berbagai status dan kelas sosial dari yang rendah hingga yang tinggi, berkaitan dengan pekerjaannya ataupun dilakukan secara berkelompok, seperti halnya organisasi, tanpa memedulikan kepentingan bersama.
Semua itu adalah tindakan nandur demit, di zaman kini . Karena yang ditandur (ditanam) demit, maka buahnya pun demit dan berperilaku seperti demit, yakni menghilang, tanpa meninggalkan jejak, misalnya karena tersangkut kasus korupsi.
“Bapak turun di Klaten ya,” katanya ketika tak terasa kereta sudah sampai dan berhenti di Stasiun Klaten pukul 09.44. Kami pun bersalaman. “Jangan nandur demit, Pak. Sudah terlalu banyak demit,” katanya lagi disusul tawa berderai.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.