Kompas TV kolom opini

Lansia dan Ancaman Korban Kejahatan Teknologi

Kompas.tv - 25 Desember 2024, 21:30 WIB
lansia-dan-ancaman-korban-kejahatan-teknologi
Ibu-ibu dan lansia saat menunggu pembagian bantuan makanan oleh Palang Merah Internasional di Bucha, April 2022. (Sumber: AP Photo/Emilio Morenatti)

Oleh: Nugroho Iman Santoso
Jurnalis Kompas TV, Dosen Komunikasi Internasional Women University, Alumni Kriminologi Universitas Indonesia

KOMPAS.TV - Imran bukan nama sebenarnya. Pria berusia 79 tahun itu baru saja menerima pesan di aplikasi whatsapp di telepon seluler (ponsel).

Baca Juga: Momen Petugas Gabungan Evakuasi Lansia dan Hewan Ternak di Tengah Banjir Jember

Si pengirim mengaku kerabatnya dan paham betul nama panggilan akrab Imran.

Mereka larut dalam percakapan yang hangat dan penuh keakraban. Si kerabat lantas mengutarakan maksudnya, ingin sekali meminjam uang kepada Imran. 

Nilainya cukup besar untuk ukuran Imran, mencapai puluhan juta rupiah. Karena yakin dan berniat ingin membantu, Imran pun ringan tangan.

Tanpa pikir panjang lagi, ia mentransfer sejumlah uang yang diminta. Anehnya, nama dan nomor rekening penerima bukan nama si kerabat itu. 

Tetapi, Imran tetap mentransfernya dan tidak mengecek kembali informasi tersebut.

Beberapa detik kemudian, uang puluhan juta rupiah melayang. Tiba-tiba saja nomor ponsel si kerabat itu sudah tak bisa dihubungi lagi.

Setelah itu, muncul informasi di grup whatsapp keluarga Imran, bahwa nomor ponsel salah satu saudaranya Imran ternyata lebih dulu telah diretas (hacked) oleh orang yang mengaku si kerabat tersebut.

Cerita nomor ponsel diretas juga menimpa korban lain. Sebut saja namanya Atni, 63 tahun.

Awalnya, Atni menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Isi pesan berupa file berjudul undangan nikah.

Ia lalu membuka pesan itu dan terus mengikuti perintah demi perintah dalam file tersebut. 

Tak lama kemudian, ternyata ponsel pintar Atni sudah tidak bisa digunakan lagi. Seluruh riwayat percakapan di aplikasi whatsapp hilang.

Rupanya Atni menerima pesan berisi virus yang telah membuat ponselnya tak dapat digunakan lagi.

Kini ponselnya harus dikembalikan ke dalam setelan pabrik (reset factory).

Dua kejadian yang menerpa kaum lanjut usia (lansia) itu barangkali pernah anda alami, dan mungkin saja anda juga nyaris menjadi korbannya.

Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan lansia rentan menjadi korban kejahatan teknologi seperti itu?

Baca Juga: Pemimpin Geng di Haiti Bantai Lansia, Diduga Balas Dendam Kematian Anaknya

Lansia Rentan
Di dunia kriminologi, para orang tua atau lansia sering dianggap sebagai individu yang rentan.

Davies, Francis & Greer (2007) memaparkan konsep kerentanan (vulnerability), yang artinya dapat diterapkan kepada individu yang tidak mampu melindungi diri mereka. Baik secara fisik sosial maupun resistensi ekonomi. 

Lazimnya, lansia mengalami kerentanan karena adanya penurunan kondisi fisik sejalan dengan bertambahnya usia.

Termasuk di dalamnya penurunan kondisi mental, kemampuan belajar, dan beradaptasi secara sosial.

Terlebih lagi pada masa sekarang, lingkungan sosial bertambah, yaitu dunia nyata dan dunia maya. 

Sayangnya, sampai saat ini belum ada data statistik resmi di negara ini yang menyatakan berapa sebenarnya jumlah para lansia yang menjadi korban kejahatan cyber.

Lalu bagaimana tindak lanjut terhadap mereka yang menjadi korban kejahatan?

Pada umumnya, sebagian besar lansia merelakan telah menjadi korban penipuan. Bahkan sebagian lagi mengikhlaskan dan menganggapnya sebagai musibah.

Tetapi mereka enggan meneruskannya ke jalur hukum karena malas berurusan dengan aparat hukum. 

Fakta ini membuat kita kembali menelaah, apakah memang lansia saat ini umumnya sulit untuk mengejar ketertinggalan di bidang teknologi yang sangat cepat, dan meningkatkan kemampuan literasi digital mereka?

Terutama yang berhubungan dengan ponsel pintar dan aplikasi keuangan digital. 

Alih alih memahami, mereka justru rentan menjadi korban manipulasi dan penipuan dunia siber oleh orang tak dikenal.

Malah ada yang menjadi “cemoohan” dari anak cucu, atau olok-olok candaan dari mereka yang usianya lebih muda. 

Di era teknologi seperti sekarang ini, setidaknya ada tiga ancaman pada lansia, yaitu:
(1) Kemampuan lansia mengakses perangkat digital. (2) Isu kognisi dan kemampuan literasi.

Hal ini yang kerap menjebak lansia pada hoaks, disinformasi, dan tidak jelas kebenarannya.

(3) Kerentanan perlindungan data (privasi). Sehingga menjadikan lansia sebagai target kejahatan online seperti penipuan di ruang digital.

Jika berbicara mengenai masa yang dilalui para Lansia di Indonesia saat ini, sebagian besar usia mereka dihabiskan pada masa-masa analog atau manual.

Merujuk pada definisi lansia, menurut WHO (World Health Organization), para lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.

Sedangkan BPS (Badan Pusat Statistik) mengelompokkan lansia menjadi tiga kelompok umur.

Yakni lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun), lansia madya (kelompok umur 70-79 tahun), dan lansia tua (kelompok umur 80 tahun ke atas).

Artinya, para Lansia di Indonesia ini sebagian besar adalah kelahiran tahun 1950-an hingga 1960-an. Bahkan beberapa lahir di akhir tahun 1940-an. 

Dalam hal ini percakapan lisan verbal mendominasi ruang kehidupan mereka. Termasuk mengarsip secara manual dokumen mereka.

Mulai dari menyimpan kertas-kertas bon belanja, mencatat di buku catatan, hingga mengkliping sertifikat dalam bentuk surat.

Semua harus dalam bentuk fisik (hardcopy) yang bisa disimpan dan kasat mata. Tapi masa itu berubah cepat, bahkan sangat cepat. 

Rhenald Kasali (2010) menggambarkan perubahan teknologi yang sangat cepat itu sebagai sudden shift, speed and surprise.

Hal ini mengagetkan dan membuat para lansia terkejut. Bagaimana tidak, mereka dahulu terbiasa menggunakan kertas dan pena serta mengarsip dalam bentuk fisik, tapi kini berubah menjadi sentuhan ke layar ponsel. 

Ada pula dari mendokumentasikan ke dalam binder arsip, kini berubah wujud ke dalam cloud, email, aplikasi dan sebagainya.

Termasuk transaksi perbankan dari antre di teller, kini berubah menjadi sekali klik di layar ponsel. 

Sepintas, hal tersebut lumrah dan mudah dilakukan bagi kaum muda. Tapi tidak untuk para lansia.

Karena mereka harus belajar satu persatu aplikasi yang ada di layar ponsel pintar. Lalu mengulik dan mencari tahu seperti apa sistematika kerja aplikasinya. 

Pekerjaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi lansia. Terlebih ketika tidak ada yang memberikan tutorial secara langsung atau tatap muka kepada mereka.

Hal itu hanya sebagian kecil kenyataan hidup di dunia internet of things yang dihadapi para lansia. 

Lansia Bisa Berdaya 
Stigma masyarakat yang menganggap lansia itu individu tidak berdaya dan membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa beraktivitas masih kental di masyarakat Indonesia.

Bahkan termasuk untuk bisa menggunakan teknologi terkini. Pertanyaannya, memberdayakan lansia untuk bisa berdaya sebaiknya mulai dari mana?

Baca Juga: Bermaksud Selamatkan 2 Anak, Lansia 70 Tahun di Sampang Ikut Tenggelam
 
Para pra lansia dan lansia bisa memulai dengan konsistensi dan disiplin diri mempelajari hal baru dalam teknologi.

Mereka bisa bergiat meliterasikan diri. Misalnya menghadiri pertemuan secara daring maupun tatap muka terkait perkembangan teknologi dan aplikasi, termasuk mempelajari potensi dan ancaman bahaya yang nyata bagi lansia.

Yakni pencurian data pribadi, scam, penipuan, pemerasan, hingga informasi hoaks yang mereka terima atau berpotensi mereka sebarkan. 

Bisa juga mereka aktif meng-upgrade keterampilan digital yang mutakhir.

Kemandirian lansia mempelajari dan menguasai keterampilan teknologi digital ini menjadi hal yang tak terelakkan di masa sekarang.

Mau tak mau para lansia selayaknya belajar secara berkelanjutan agar tidak tertinggal perubahan dan kemajuan teknologi yang sangat cepat.

Selain itu, mereka juga bisa mencari informasi terkini non berita melalui akun peramban yang bisa dijangkau, hingga belajar literasi keuangan, dan sosial media dari pakar atau ahli di bidangnya. 

Hal ini itu menjadi salah satu cara meningkatkan kapasitas diri mengejar ketertinggalan informasi di dunia teknologi.

Maka, butuh kegigihan lansia mempelajari sekaligus mendapatkan keterampilan baru dari dunia teknologi.

Termasuk mengaktifasi, mencari, dan menciptakan lingkungan yang mendukung mereka mempelajari perkembangan teknologi. 

Misalnya mencari teman diskusi yang cocok atau membuka ruang komunikasi untuk belajar dengan generasi di bawahnya.

Tanpa terkecuali aktif bersosialiasi di dua dunia sosial, yaitu dunia nyata dan dunia maya (internet). 

Meskipun demikian, boleh jadi tidak semua hal bisa dikuasai. Tidak pula semua keterampilan menggunakan aplikasi bisa dipahami dan dilakukan.

Tetapi, setidaknya para lansia memiliki pengetahuan, keterampilan dan literasi minimal tentang aplikasi yang sering mereka gunakan.

Peran Negara
Dalam konteks perlindungan lansia dari sisi ancaman keamanan diri terhadap teknologi, negara sepertinya belum sepenuhnya hadir.

Baca Juga: Teknologi AI Tidak Bisa Sepenuhnya Menggantikan Peran Jurnalis

Teknologi yang berkembang sangat cepat sukar diikuti oleh pembuatan peraturan perundang-undangan. Salah satu contohnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). 

Sampai saat ini UU ITE belum bisa merangkum bagaimana perkembangan kecerdasan buatan (Artifisial Intelligence/AI) dimanfaatkan secara negatif.

Bagaimana jika AI di masa depan dimanfaatkan sebagai “tools” kejahatan utama bagi lansia, atau penggunaan teknologi seperti “deep fake” yang bisa mengubah wajah seseorang dan mengisinya dengan suara buatan untuk menipu atau memperdaya para lansia? 

Bahkan sosok seseorang yang sudah meningal dunia pun bisa “dihidupkan” kembali melalui deep fake. Hal ini tentu sangat berbahaya jika lansia tidak memahaminya.

Itulah salah satu tantangan pemerintah membuat aturan undang-undang yang visioner atas perkembangan teknologi.

Terutama dalam konteks melindungi warga negara dan lansia pada khususnya.

Saat ini, negara melalui perangkat institusinya, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPA) bisa melakukan sejumlah upaya untuk menggencarkan literasi cyber dan teknologi kepada lansia. 

Para lansia di masa sekarang, sepatutnya sudah harus mendapatkan pengetahuan dasar, keterampilan dan ancaman-ancaman dunia cyber, dan perkembangan teknologi.

Tujuannya agar mereka menjadi waspada kejahatan cyber, dan teknologi itu nyata mengancam keamanan dan keselamatan diri mereka. 

Oleh karena itu, pelatihan dan literasi harus dilakukan secara sporadis, terencana, dan terarah, dengan sasaran para lansia.

Tentu kehadirannya bukan hanya dalam bentuk seminar dan diskusi saja, tetapi juga pelatihan langsung kepada para lansia.

Step by step sebagai “user” aplikasi dan teknologi, hingga bagaimana memahami dan mengimplementasikannya.

Terutama literasi menjaga data pribadi, dan ancaman-ancaman kejahatan cyber. 

Upaya memperkuat dasar hukum perlindungan lansia juga harus segera dilakukan dan menjadi perhatian semua pihak.

Agar payung hukum besar perlindungan terhadap lansia ini menjadi salah satu agenda prioritas legislasi.

Harapannya, para lansia di Indonesia bisa menjalani hari tua dengan baik. Para lansia juga mampu memitigasi ancaman dunia cyber lebih awal, termasuk untuk lansia Imran dan Atni. Semoga.

Baca Juga: Kala Petugas Amankan 4 Lansia Penghuni Kolong Jembatan Ruas TB Simatupang




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x