Oleh: Nugroho Iman Santoso
Jurnalis Kompas TV, Dosen Komunikasi Internasional Women University, Alumni Kriminologi Universitas Indonesia
KOMPAS.TV - Imran bukan nama sebenarnya. Pria berusia 79 tahun itu baru saja menerima pesan di aplikasi whatsapp di telepon seluler (ponsel).
Baca Juga: Momen Petugas Gabungan Evakuasi Lansia dan Hewan Ternak di Tengah Banjir Jember
Si pengirim mengaku kerabatnya dan paham betul nama panggilan akrab Imran.
Mereka larut dalam percakapan yang hangat dan penuh keakraban. Si kerabat lantas mengutarakan maksudnya, ingin sekali meminjam uang kepada Imran.
Nilainya cukup besar untuk ukuran Imran, mencapai puluhan juta rupiah. Karena yakin dan berniat ingin membantu, Imran pun ringan tangan.
Tanpa pikir panjang lagi, ia mentransfer sejumlah uang yang diminta. Anehnya, nama dan nomor rekening penerima bukan nama si kerabat itu.
Tetapi, Imran tetap mentransfernya dan tidak mengecek kembali informasi tersebut.
Beberapa detik kemudian, uang puluhan juta rupiah melayang. Tiba-tiba saja nomor ponsel si kerabat itu sudah tak bisa dihubungi lagi.
Setelah itu, muncul informasi di grup whatsapp keluarga Imran, bahwa nomor ponsel salah satu saudaranya Imran ternyata lebih dulu telah diretas (hacked) oleh orang yang mengaku si kerabat tersebut.
Cerita nomor ponsel diretas juga menimpa korban lain. Sebut saja namanya Atni, 63 tahun.
Awalnya, Atni menerima pesan dari nomor yang tidak dikenal. Isi pesan berupa file berjudul undangan nikah.
Ia lalu membuka pesan itu dan terus mengikuti perintah demi perintah dalam file tersebut.
Tak lama kemudian, ternyata ponsel pintar Atni sudah tidak bisa digunakan lagi. Seluruh riwayat percakapan di aplikasi whatsapp hilang.
Rupanya Atni menerima pesan berisi virus yang telah membuat ponselnya tak dapat digunakan lagi.
Kini ponselnya harus dikembalikan ke dalam setelan pabrik (reset factory).
Dua kejadian yang menerpa kaum lanjut usia (lansia) itu barangkali pernah anda alami, dan mungkin saja anda juga nyaris menjadi korbannya.
Lantas, apa sebenarnya yang menyebabkan lansia rentan menjadi korban kejahatan teknologi seperti itu?
Baca Juga: Pemimpin Geng di Haiti Bantai Lansia, Diduga Balas Dendam Kematian Anaknya
Lansia Rentan
Di dunia kriminologi, para orang tua atau lansia sering dianggap sebagai individu yang rentan.
Davies, Francis & Greer (2007) memaparkan konsep kerentanan (vulnerability), yang artinya dapat diterapkan kepada individu yang tidak mampu melindungi diri mereka. Baik secara fisik sosial maupun resistensi ekonomi.
Lazimnya, lansia mengalami kerentanan karena adanya penurunan kondisi fisik sejalan dengan bertambahnya usia.
Termasuk di dalamnya penurunan kondisi mental, kemampuan belajar, dan beradaptasi secara sosial.
Terlebih lagi pada masa sekarang, lingkungan sosial bertambah, yaitu dunia nyata dan dunia maya.
Sayangnya, sampai saat ini belum ada data statistik resmi di negara ini yang menyatakan berapa sebenarnya jumlah para lansia yang menjadi korban kejahatan cyber.
Lalu bagaimana tindak lanjut terhadap mereka yang menjadi korban kejahatan?
Pada umumnya, sebagian besar lansia merelakan telah menjadi korban penipuan. Bahkan sebagian lagi mengikhlaskan dan menganggapnya sebagai musibah.
Tetapi mereka enggan meneruskannya ke jalur hukum karena malas berurusan dengan aparat hukum.
Fakta ini membuat kita kembali menelaah, apakah memang lansia saat ini umumnya sulit untuk mengejar ketertinggalan di bidang teknologi yang sangat cepat, dan meningkatkan kemampuan literasi digital mereka?
Terutama yang berhubungan dengan ponsel pintar dan aplikasi keuangan digital.
Alih alih memahami, mereka justru rentan menjadi korban manipulasi dan penipuan dunia siber oleh orang tak dikenal.
Malah ada yang menjadi “cemoohan” dari anak cucu, atau olok-olok candaan dari mereka yang usianya lebih muda.
Di era teknologi seperti sekarang ini, setidaknya ada tiga ancaman pada lansia, yaitu:
(1) Kemampuan lansia mengakses perangkat digital. (2) Isu kognisi dan kemampuan literasi.
Hal ini yang kerap menjebak lansia pada hoaks, disinformasi, dan tidak jelas kebenarannya.
(3) Kerentanan perlindungan data (privasi). Sehingga menjadikan lansia sebagai target kejahatan online seperti penipuan di ruang digital.
Jika berbicara mengenai masa yang dilalui para Lansia di Indonesia saat ini, sebagian besar usia mereka dihabiskan pada masa-masa analog atau manual.
Merujuk pada definisi lansia, menurut WHO (World Health Organization), para lansia adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Sedangkan BPS (Badan Pusat Statistik) mengelompokkan lansia menjadi tiga kelompok umur.
Yakni lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun), lansia madya (kelompok umur 70-79 tahun), dan lansia tua (kelompok umur 80 tahun ke atas).
Artinya, para Lansia di Indonesia ini sebagian besar adalah kelahiran tahun 1950-an hingga 1960-an. Bahkan beberapa lahir di akhir tahun 1940-an.
Dalam hal ini percakapan lisan verbal mendominasi ruang kehidupan mereka. Termasuk mengarsip secara manual dokumen mereka.
Mulai dari menyimpan kertas-kertas bon belanja, mencatat di buku catatan, hingga mengkliping sertifikat dalam bentuk surat.
Semua harus dalam bentuk fisik (hardcopy) yang bisa disimpan dan kasat mata. Tapi masa itu berubah cepat, bahkan sangat cepat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.