Oleh: Gunawan Trihantoro, Sekretaris SatuPena dan Kreator Era AI Jawa Tengah
Puisi esai telah membuka jalan baru dalam dunia sastra Indonesia.
Ia melintasi batas antara puisi dan narasi. Bahkan menghadirkan perpaduan unik antara fakta, data, dan imajinasi.
Baca Juga: Gagasan Revolusioner AI dan Coding untuk Masa Depan Pendidikan Indonesia
Pelopor gagasan ini, Denny Januar Ali (Denny JA) mewujudkannya pada 2012 melalui buku Atas Nama Cinta.
Buku itu menjadi tonggak penting kelahiran genre baru.
Denny JA bukan hanya memperkenalkan bentuk seni baru, tetapi juga sebuah medium yang menyatukan keindahan puisi dengan kedalaman isu sosial.
Karya-karyanya mengangkat tema seperti cinta, perjuangan, dan ketidakadilan. Sehingga menjadikannya relevan dengan pengalaman manusia sehari-hari.
Di setiap puisi esai, fakta dan cerita menyatu dalam balutan estetika yang menggugah.
Gagasan ini berakar pada kritik terhadap puisi modern yang kerap dianggap terlalu kompleks dan sulit dipahami.
John Barr, pemimpin Poetry Foundation, dalam bukunya American Poetry in New Century (2006) menyebut, puisi modern belum mengalami perubahan signifikan selama berabad-abad dan semakin teralienasi dari publik.
Kritik serupa diungkapkan oleh Joseph Epstein dalam esainya Who Killed Poetry? serta Delmore Schwartz dalam The Isolation of Modern Poetry.
Keduanya menyatakan puisi modern terlalu rumit dan hanya dapat dipahami oleh kalangan terbatas.
Menanggapi kritik ini, Denny JA pada tahun 2011 melakukan riset terbatas melalui Lingkaran Survei Indonesia (LSI).
Hasil riset menunjukkan, sebagian besar masyarakat Indonesia kesulitan memahami puisi modern.
Sebaliknya, puisi lama seperti karya Chairil Anwar dan W.S. Rendra lebih mudah dipahami karena bahasanya yang sederhana, walaupun tetap menawarkan kedalaman makna.
Melalui refleksi mendalam, Denny JA mulai memikirkan medium baru yang dapat menyampaikan isu sosial dengan cara yang lebih inklusif.
Ia menetapkan empat kriteria untuk medium itu, yakni harus menyentuh emosi pembaca.
Lalu mengungkapkan kehidupan sosial secara konkret, ditulis dengan bahasa sederhana yang indah, dan menggambarkan dinamika sosial maupun tokoh utama.
Dari gagasan itu lahirlah puisi esai, perpaduan unik antara puisi dan esai.
Sebelum menetapkan nama puisi esai, Denny JA bersama sejumlah tokoh sastra, seperti Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleden, Eriyanto, Fatin Hamama, dan Mohamad Sobary mempertimbangkan berbagai nama lain, seperti opini liris, esai liris, atau puisi naratif.
Setelah melalui diskusi panjang, akhirnya dipilih nama puisi esai yang mencerminkan karakter medium tersebut secara lebih tepat.
Puisi esai kemudian berkembang pesat. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga di berbagai daerah.
Di Sulawesi Barat misalnya, muncul tokoh-tokoh seperti Syuman Saeha, Subriadi, Adi Arwan Alimin, Asad Sattari, dan Ika Lisrayani.
Baca Juga: Mesigit, Ritus dan Masjid Betawi dalam Balutan Puisi Sejarah
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.