Fenomena keseharian ini menyebabkan masyarakat audis atau diskriminatif terhadap mereka yang mengalami gangguan pendengaran. Diskriminasi juga terjadi dalam kesempatan memperoleh pekerjaan yang layak dan lingkungan kerja yang inklusif. Sebab, banyak perusahaan yang masih enggan mempekerjakan orang tuli meskipun sudah ada beberapa yang mengimplementasikan seperti Starbucks dan Pizza Hut.
Akhirnya, komunitas tuli beradaptasi dengan menciptakan sektor bisnis mereka sendiri, seperti Sunyi Coffee, yang dikelola oleh barista dan koki disabilitas agar bisa tetap hidup dan berpenghasilan.
Kedua, aksesibilitas pendidikan yang terbatas bagi kaum tuli menjadi masalah serius. Berdasarkan data dari situs resmi GERKATIN dan BPS Nasional, pada tahun 2019 terdapat 1.820.000 penyandang tuli dari total 268.100.000 penduduk Indonesia. Sebagian besar anak tuli tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak, terutama karena hambatan bahasa (GERKATIN, 2023).
Banyak sekolah di Indonesia belum menyediakan fasilitas yang mendukung, seperti tenaga pengajar yang menguasai bahasa isyarat atau metode pengajaran inklusif yang efektif. Menurut Hajrah dkk. (2023) kemampuan kosakata Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) pada siswa SLB Mina Baji, Kabupaten Maros, belum mencapai kriteria 75%. Dari satu kelas, hanya 9 siswa (30%) yang memperoleh nilai di atas 75, sementara 21 siswa (70%) mendapatkan nilai di bawah standar.
Hasil ini sejalan dengan kritik aktivis tuli, Surya Sahetapy di detik.com, bahwa pendidikan di SLB masih diajar oleh guru yang minim wawasan terkait komunitas tuli, serta terdapat miskonsepsi bahwa Juru Bahasa Isyarat harus berasal dari SLB (Triyunanto, 2024).
Faktanya, kelompok JBI bisa berasal dari kaum dengar dan kaum tuli. Tantangan ini kompleks dan memerlukan perhatian lebih dari pemerintah yang mungkin bisa lebih melibatkan komunitas tuli dan kelompok JBI dalam mempersiapkan guru atau regulasi yang mampu mendukung proses pembelajaran dan pengembangan potensi siswa di SLB.
Dalam jangka panjang, pendidikan inklusif penting bagi perkembangan anak, baik dari segi mental, pola pikir, maupun kemampuan sosial, sehingga mereka mampu berinteraksi dengan masyarakat umum tanpa merasa inferior. Anak-anak tuli bisa saja dimasukkan ke sekolah reguler, asalkan sekolah memfasilitasi kebutuhan mereka. Hal ini karena orang tuli dikategorikan sebagai disabilitas sensorik yang hanya mempengaruhi pendengarannya, sementara fungsi lain dalam tubuhnya tetap normal (bukan disabilitas total).
Ketiga, jumlah Juru Bahasa Isyarat yang terbatas di tengah kebutuhan yang besar. Menurut Effendi (2018), di kawasan daerah belum semuanya memiliki Juru Bahasa Isyarat. Pernyataan ini menunjukkan bahwa permintaan terhadap Juru Bahasa Isyarat jauh melebihi jumlah yang tersedia, sehingga rekrutmen Juru Bahasa Isyarat perlu dilanjutkan.
Namun, permasalahan ini juga berkaitan dengan pendataan jumlah individu yang tergabung dan berniat untuk melakukan pelayanan ke daerah atau pihak yang membutuhkan. Oleh karena itu, penting juga bagi organisasi per wilayah yang menaungi kelompok JBI melakukan pendataan dan mengembangkan pelatihan yang berkelanjutan.
Serge Moscovici memperkenalkan istilah minority influence untuk memahami bagaimana kelompok atau individu yang ukurannya lebih kecil (minoritas) dapat mempengaruhi perubahan dalam kelompok yang ukurannya lebih besar (mayoritas).
Pada buku "Social Influence and Social Change", Moscovici (1976) menekankan peran penting yang dimainkan oleh kelompok minoritas dalam memicu perubahan politik, ilmiah, agama dan seni. Teori awal Moscovici menjelaskan kelompok minoritas memiliki tujuan untuk mengubah kondisi sosial yang sering kali memberikan hasil yang buruk (Prislin & Cristensen, 2005).
Menurut Moscovici (1994), minoritas identik dengan kelompok yang dianggap menyimpang, diberi stigma, dan diabaikan. Kerangka teori awal Moscovici adalah Genetic Model of Social Influence, yang secara singkat menjelaskan bahwa kekuatan kelompok minoritas untuk mewujudkan perubahan sosial adalah kemampuan seseorang untuk menciptakan konflik sosial dengan kelompok mayoritas melalui advokasi.
Kekuatan advokasi bergantung pada sikap konsisten, adanya konsensus internal, dan dedikasi pada posisi menjadi minoritas meskipun harus menghadapi konsekuensi atau hukuman (Prislin, 2022). Selain itu, minoritas perlu tegas, menunjukkan keterbukaan dan tidak dianggap kaku (Papastamou dkk., 2017). Dengan sikap ini, kelompok minoritas terlihat berbeda dari norma yang ada dan menghasilkan konflik sosial yang memaksa mayoritas mempertimbangkan ulang posisinya.
Konflik sosial dapat diselesaikan ketika sebagian anggota mayoritas secara private mengadopsi posisi minoritas yang kemudian secara perlahan berubah menjadi publik. Ketika sudah cukup banyak anggota mayoritas mengadopsi posisi minoritas, sebuah norma baru akan tercipta, di mana minoritas awal berubah jadi mayoritas, dan sebaliknya. Perlu digarisbawahi, Moscovici beranggapan mengubah pemikiran individu di posisi mayoritas hanya langkah menuju perubahan sosial, bukan tujuan akhir.
Sehingga, teori lanjutannya yaitu Conversion Theory (perubahan anggota mayoritas menjadi pendukung minoritas) lebih fokus pada proses kognitif yang mendasari pengaruh minoritas-mayoritas. Umumnya penelitian tentang pengaruh minoritas berfokus pada perubahan kognitif individu daripada perubahan sosial yang lebih luas.
Selain itu, proses konversi yang dialami kelompok mayoritas dianggap sebagai kerugian yang memunculkan reaksi negatif, sedangkan kelompok minoritas menganggap konversi sebagai keuntungan, namun reaksi positifnya tidak terlalu kuat. Dinamika ini menyebabkan kelompok yang baru terbentuk lebih lemah karena adanya ketidakseimbangan dari reaksi mayoritas lama dan minoritas baru.
Prislin (2022) mencoba untuk menjelaskan perubahan sosial yang tujuannya untuk penerimaan sosial, tidak perlu mengubah pandangan mayoritas menjadi pendukung minoritas, melainkan mengadvokasikan toleransi dapat memperluas standar kelompok untuk kebaikan bersama.
Perubahan sosial yang dicapai melalui toleransi mampu menghasilkan reaksi yang lebih positif secara keseluruhan, memberikan keuntungan bagi minoritas tanpa merugikan mayoritas, dan menciptakan dinamika yang lebih inklusif. Sehingga pendekatan ini mampu membuat kelompok yang baru terbentuk lebih kuat dibandingkan perubahan melalui konversi yang lebih tegang.
Prislin juga menekankan agenda penting yang perlu diperhatikan peneliti di bidang minority influence, sesungguhnya proses perubahan sosial di kehidupan nyata tidak seperti penelitian eksperimen yang mempelajari efek dari satu kali interaksi atau satu pertemuan kelompok di satu titik waktu tertentu, sehingga perubahan sosial dalam kesetaraan akan memakan waktu dan bersifat evolusioner.
Selain itu, motif minoritas seperti standar moral, keadilan, dan identitas kelompok perlu diperhatikan untuk melakukan suatu perubahan sosial. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, konversi dan toleransi adalah dua jalur yang berbeda untuk mencapai perubahan sosial dan keduanya memiliki konsekuensi berbeda terhadap dinamika kelompok.
Perubahan sosial yang dilakukan oleh kelompok JBI sebagai perpanjangan tangan komunitas tuli, perlu menunjukkan sikap konsisten, tegas, dan berdedikasi dalam mempengaruhi pandangan masyarakat mayoritas yang terjebak stigma dan kurangnya pengetahuan. Meskipun perubahan ini tidak instan, Prislin (2022) menjelaskan bahwa perubahan sosial bersifat evolusioner.
Baca Juga: Kejam! Tentara Israel Bunuh Pria Difabel Palestina dengan Brutal di Gaza
Hal ini termanifestasi lewat rekrutmen Juru Bahasa Isyarat, advokasi, dan agenda program kerja yang menjunjung kesetaraan kaum tuli untuk merubah pandangan mayoritas secara bertahap. Pada konteks aksesibilitas pendidikan yang terbatas, hambatan bahasa menunjukkan bahwa komunitas tuli masih diabaikan. Menurut Conversion Theory, kelompok minoritas mampu mempengaruhi mayoritas melalui proses perubahan kognitif yang mendalam. Kesadaran masyarakat akan pentingnya akses pendidikan inklusif bagi anak-anak tuli berpotensi untuk memicu perubahan kebijakan yang dilakukan oleh pihak otoritas terkait kondisi pendidikan di Indonesia.
Terakhir, kurangnya Juru Bahasa Isyarat di Indonesia masih menjadi tantangan, namun upaya berkelanjutan untuk merekrut dan mengadakan pelatihan bahasa isyarat menjadi langkah penting dalam menciptakan sistem yang lebih inklusif. Kelompok JBI memiliki peran penting sebagai penghubung antara kaum tuli dan kaum dengar.
Mereka tidak hanya berjuang sebagai kelompok minoritas yang memperjuangkan hak-hak kesetaraan, tetapi juga memainkan peran kunci dalam menjembatani pemahaman dam mendorong penerimaan sosial di kalangan mayoritas. Konsistensi, komitmen, serta nilai kolektivisme dalam budaya Indonesia menunjukkan upaya yang sejalan dengan prinsip keadilan sosial yang tercantum dalam Pancasila.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.