Kompas TV kolom opini

La C ne sur Un Sc ne sur La Seine

Kompas.tv - 11 Agustus 2024, 06:00 WIB
la-cne-sur-un-scne-sur-la-seine
Celine Dion. (Sumber: AP Photo)

Tetapi, sayangnya pesta luar biasa dalam persaudaraan universal itu dinodai oleh parodi Perjamuan Akhir, pada upacara pembukaan, 26 Juli lalu. Sulit untuk melihat bagaimana Perjamuan Terakhir cocok dengan pertandingan olahraga yang apolitis dan internasional.

Parodi Perjamuan Terakhir dalam bentuk “drag-queen tableau” (tablo waria) oleh 18 pemain, telah menyinggung hati dan perasaan umat Katolik. Kristen. Bahkan, Imam Besar Al-Azhar Mesir, Sheik Ahmed al-Tayyeb pun mengecamnya. Elon Musk dalam postingannya di X, menulis “sangat tidak menghormati umat Kristen” lalu disambung “Kekristenan telah ompong.”

Para uskup Prancis, para kardinal dan uskup seluruh dunia serta para pemimpin dunia pun mengecam pertunjukan itu, antara lain Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Pemimpin Gereja-gereja Ortodoks pun, Patriak Konstantinopel Bartholomew, berkomentar. Dan, akhirnya, Takhta Suci pun delapan hari kemudian menyatakan “sedih” dengan adanya pertunjukan itu.

Parodi itu menampilkan para waria berpose di belakang meja panjang dengan Sungai Seine dan Menara Eiffel sebagai latar belakang. Ini menggambarkan para rasul. Seorang DJ perempuan dengan gaun berpotongan rendah, low-cut dress, yang mengenakan hiasan kepala ukuran besar berwarna perak, duduk di tengah.

Hiasan ini mengingatkan lingkaran cahaya (halo) di belakang kepala Yesus sebagaimana digambarkan dalam lukisan Perjamuan Akhir, yang menunjukkan status ilahi-Nya sebagai putra Allah. Tampilan ini rupanya mengejek lukisan terkenal, “Perjamuan Akhir” karya Leonardo da Vinci.

Ada yang mengatakan, tampilan itu adalah penggambaran Pesta Dionysus, sebagai penghormatan terhadap asal-usul Olimpiade yakni Yunani; dan bukannya Perjamuan Akhir. Tetapi, para artis yang terlibat tablo itu, dalam unggahan di media sosial dan komentar media di Prancis, menyatakan mereka memang bermaksud meniru Perjamuan Akhir.

Akhirnya, karena protes para pemimpin berbagai agama dan pemimpin dunia, wakil Komite Olimpiade Internasional (IOC) minta maaf. Katanya, “Jelas tidak pernah ada niat untuk menunjukkan rasa tidak hormat kepada kelompok agama mana pun.”

Hanya itu. Kata Vatikan, semestinya, “Dalam acara bergengsi di yang dihadiri oleh orang dari seluruh dunia berdasarkan nilai-nilai yang sama, tidak boleh ada sindiran yang mengejek keyakinan agama banyak orang.”

Kebebasan berekspresi memang dijamin di negeri revolusi itu. Tetapi, kebebasan berekspresi, tentu sampai pula pada batasnya, karena harus menghormati orang dan pihak lain. Kebebasan ekspresi juga semestinya tidak menabrak dan menghancurkan persatuan global. Maka kebebasan berekspresi dan kebebasan-kebebasan yang lain harus pula diimbangi dengan rasa hormat terhadap yang lain.

Maka banyak yang berpendapat bahwa umat Kristiani berhak menyuarakan kemarahannya atas ejekan saat pembukaan Olimpiade Paris, tetapi dengan kasih dan tanpa kekerasan. Bukankah seperti, Amor omnia vincit, kasih sayang mengalahkan segalanya; Amor mundum fecit, cinta itu menciptakan dunia baru.

***

Olimpiade pada dasarnya adalah pesta olahraga. Namun, olimpiade jauh dari sekadar olahraga. Olimpiade adalah tentang: kebersamaan, harapan, solidaritas, dan perdamaian.

Itulah sebabnya, para wakil dari lima agama besar yang terlibat dalam Olimpiade Paris, beberapa hari lalu, bertemu di alun-alun Katedral Notre Dame, Paris. Mereka–wakil umat Kristen Yahudi, Muslim, Buddha, dan Hindu–bertemu, sharing (berbagai) dan mendiskusikan nilai-nilai iman dan olahraga. Ini tradisi lama yang sudah dilakukan sejak 1924.

Sejarah olimpiade sangat berwarna. Tidak selalu membuat bahagia. Acara pembukaan kemarin pun, tidak sepenuhnya membahagiakan banyak pihak.

Namun, di dunia sekarang ini yang terkoyak-koyak oleh perang, kebencian (karena alasan perbedaan etnis, agam, budaya, pandangan politik, dan juga strata sosial), harus diakui bahwa Olimpiade adalah satu-satunya acara yang masih mampu mempersatukan dunia lewat kompertisi damai, fair, dan penuh persaudaraan.

Karena itu, dengan memilih menyanyikan L’Hymne à l’amour, Celine Dion tidak hanya secara khusus bicara tentang kekuatan cinta antara laki-laki dan perempuan. Ia ingin pula mengingatkan bahwa olimpiade adalah lambang cinta. Sama seperti Perjamuan Terakhir adalah lambang cinta.

Tentu tidak seperti La Cène Sur Un Scène Sur La Seine, Perjamuan Terakhir di Panggung Sungai Seine, yang justru mengolok-olok cinta….

***


 

 

 




Sumber :




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x