Kompas TV kolom opini

KAISAR

Kompas.tv - 20 Mei 2024, 07:07 WIB
kaisar
Foto ilustrasi (Sumber: Dok Trias Kuncahyono)

***

Pembunuhan terhadap Geta oleh Caracalla, saudaranya, juga kaisar tua, Tacitus, menjadi contoh bahwa kekuasaan itu membutakan mata dan hati; kekuasaan menumbuhkan nafsu keserakahan; mabuk kekuasaan menjadikan orang tak kenal rasa kemanusiaan dan persaudaraan.

Demi kekuasaan, seperti para kaisar Romawi, bisa bertindak (dalam istilah Jawa) “rawe-rawe rantas, malang-malang putung.” Segala macam yang dianggap hambatan, rintangan, harus disingkirkan dengan segala macam cara dan daya.

Kalau dalam konteks budaya Jawa, sebenarnya, ini adalah sikap dan tindakan heroik. Inilah prinsip yang menunjukkan kekuatan jiwa dalam upaya mencapai tujuan. Tetapi tentu, sejauh itu dilakukan dengan tidak menghalalkan segala macam cara.

Dengan kata lain, prinsip seperti dalam tradisi Jawa tersebut bukanlah sikap permisif, yang terkait dengan tujuan menghalalkan segala cara. Tetapi tentu tindakan itu harus tetap berada di dalam prinsip mencapai tujuan yang baik dengan cara yang baik.

Tradisi dan budaya kita jelas tidak membenarkan siapa pun mencapai tujuan dengan cara yang tidak etis. Meskipun ada cerita tentang Ken Arok atau kisah-kisah perebutan kekuasaan di zaman kerajaan: Maratam, Singosari, Kediri, Majapahit, Demak, Pajang juga Sriwijaya.

Apakah hal semacam itu ada dalam tradisi Romawi? Pembunuhan Romulus terhadap Remus (saudara kembar ini diceritakan sebagai pendiri Roma), bisa dikatakan “mengawali” pembunuhan sesama saudara karena kekuasaan di Roma. Ibarat kata, pembunuhan Romulus terhadap Remus seperti pembuhan Kain terhadap Abil, yang terus berulang dan berulang.

Kisah yang dialami Servius Sulpicius Galba tahun 69, bisa menjadi contoh lain. Galba, seorang politisi sekaligus komandan militer. Ia menjadi kaisar pertama Romawi yang naik takhta karena dukungan militer.

Tapi, setelah berkuasa, ia tidak populer karena kebijakannya, antara lain menaikkan pajak, menyingkirkan para pejabat korup, dan melupakan teman-teman dekatnya yang korup. Teman-teman lamanyapun sakit hati.

Akhirnya, tujuh bulan setelah berkuasa, Galba dibunuh sahabat dekatnya Marcus Salvius Otho. Karena Galba yang saat itu berusia 73 tahun memilih Lucius Calpurnius Piso, seorang aristokrat bermoral sebagai calon kaisar. Otho sakit hati. Dan, membunuh Galba yang memilih orang bermoral dan bersih. Sekali lagi, kuasa kegelapan merajalela.

Terbunuhnya Galba yang menjadikan Otho sebagai kaisar, sekaligus memicu perang saudara. Otho hanya berkuasa tiga bulan. Dalam setahun, empat orang, empat komandan militer (mulai dari Galba), bertarung rebutan kekuasaan.

Otho disingkirkan Jenderal Aulus Vitellius. Tapi, ia hanya delapan bulan berkuasa karena disingkirkan Jenderal Titus Flavius Vespasianus yang lebih dikenal sebagai Vespasian. Korban tewas perebutan kekuasaan dua jenderal ini lebih dari 50.000 orang.

Vespasian adalah pendiri Dinasti Vespasian. Dia pula yang membasmi pemberontakan Yahudi yang berakhir dengan penghancuran Yerusalem, setelah dikepung sejak 14 April sampai 8 September 70.

***

Kekuasaan memang, kata orang-orang cerdik cendikia, tremendum (menggentarkan) sekaligus fascinatum (memesona). Dengan kekuasaan di tangan, para kaisar Romawi menggentarkan, menakutkan siapa saja. Karena dengan kekuasaan itu, bisa berbuat apa saja, semaunya. Sayangnya, banyak yang tidak untuk bonum commune, kesejaheraan bersama.

Tapi yang menggetarkan itu juga memesona orang lain untuk memilikinya. Takhta kaisar didambakan sekaligus berbahaya. Kekuasaan itu menghidupkan tapi juga mematikan. Meskipun para kaisar mempunyai kekuasaan yang tak tertandingi, mereka terus-menerus terjerat dalam jaringan intrik politik dan perselisihan antar-faksi. Maka selalu curiga terhadap orang lain.

Namun, seperti yang dilakukan para kaisar Romawi, segala cara dan jalan dilakukan untuk mendapatkannya. Tak peduli bahwa perebutan kekuasaan itu menelan ribuan jiwa juga menyengsarakan rakyatnya. Yang penting, kekuasaan dalam genggaman tangannya.

Begitulah kekuasaan para kaisar. Tapi, siang hingga sore itu, kami sama sekali tidak membicarakan soal kaisar, soal kekuasaan kaisar, soal intrik politik di kalangan elite politik, dan soal konspirasi, soal nepotisme mereka. Bagi kami, biarlah hak kaisar tetap di tangan kaisar. Kami serahkan semua kepada kaisar.

Kami lebih memilih  menikmati capuccino, hugo (lime, liquore di sambuco, prosecco e soda), americano (vermouth rosso, campari bitter e soda), vegetables in tempura, smoked beef slices, dan greca salad.



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x