Oleh Trias Kuncahyono
Ketika mengunjungi tanah kelahiran demokrasi, Yunani, 4 Desember 2021, Paus Fransiskus secara terang-terangan mengatakan bahwa demokrasi sedang terancam. Tidak hanya di Eropa, tetapi di mana-mana demokrasi terancam.
Ancaman itu muncul seiring dengan meningkatnya jumlah pemimpin otoriter yang didorong oleh kepentingan populis dan kepentingan diri. Kemunduran demokrasi tidak hanya di Eropa, tetapi di mana-mana.
Kata Paus, demokrasi memerlukan partisipasi dan keterlibatan semua pihak. Oleh karena itu, diperlukan kerja keras dan kesabaran. Ini rumit, padahal otoritarianisme bersifat mutlak dan jawaban mudah dari populisme tampak menarik.
Karena itu, ia mendesak agar para penguasa kembali ke prinsip-prinsip dasar politik yang baik yakni “seni kebaikan bersama”; “keberpihakan ke partisipasi”; “memprioritaskan lapisan masyarakat yang lebih lemah”; dan “menyingkirkan upaya mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kekuasaan.”
Politik membutuhkan hal itu semua: mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dengan sasaran utama mewujukan bonum commune, kemaslahatan bersama.
Baca Juga: Kupandang Visuvius dari Balkon
Paus mengingatkan bahwa demokrasi masih rapuh dan perlu berkomitmen untuk menjadikan partisipasi penuh semua pihak dan setara dalam kehidupan politik sebagai prioritas moral. Sebab, demokrasi membutuhkan partisipasi dan keterlibatan semua pihak.
***
Peringatan Paus itu saya temukan pada buku kumpulan refleksi Paus, yang belum lama saya miliki. Buku itu berjudul I Am Asking in the Name of God, The Prayers for a Future of Hope (2023).
Buku ini merupakan refleksi Paus terhadap sepuluh isu vital yang dihadapi dunia saat ini. Editor buku, Becky Nesbitt menulis, buku ini diterbitkan berkenaan dengan ulang tahun kesepuluh terpilihnya Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus, 13 Maret 2013.
Ada isu tentang media to fight fake news and avoid hate speech; stop the madness of war; greater participation of women in society be promoted and encouraged; access to health services; dan politics that works for the common good. Semua tema isu didahului dengan kalimat In the name of God, I ask that…
Yang pertama kali saya baca adalah refleksi keempat Paus. Refleksi keempat itu berjudul In the name of God, I ask for Politics that works for the common good.
Baca Juga: Ngobrol di Baccano
Refleksi Paus Fransiskus tentang politik itu mengingatkan pada pidato Paus di Yunani (2021), juga pesannya yang disampaikan saat peringatan Hari Perdamaian Dunia 2019.
Kebetulan pesan Paus itu baru beberapa hari silam saya baca, setelah mendapat undangan untuk mengikuti briefing di Vatikan berkait dengan Hari Perdamaian Dunia Ke-57 tahun 2024. Undangan dikirimkan oleh Mgr Edgar Pena Parra, seorang uskup agung dari Venezuela yang sekarang menjabat sebagai “Substitute for General Affairs of the Secretariat of State of the Holy See”.
Pesan Paus tahun ini bertema Artificial Inteligence and Peace. Lima tahun lalu, 2019, Paus memberikan judul pesannya Good Politics is the service of peace.
***
Dalam pesan perdamaiannya tahun 2019, Paus antara lain mengatakan, kehausan akan kekuasaan dengan cara apa pun akan berujung pada pelanggaran dan ketidakadilan. Politik merupakan sarana penting untuk membangun komunitas dan institusi manusia.
Namun, ketika kehidupan politik tidak dilihat sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat secara keseluruhan, maka politik bisa menjadi sarana penindasan, marginalisasi, dan bahkan kehancuran.
Jabatan politik dan tanggung jawab politik, kata Paus, terus-menerus menantang mereka yang terpanggil untuk mengabdi pada negara; untuk melakukan segala untuk melindungi rakyat dan untuk menciptakan kondisi demi masa depan yang layak dan adil.
Jika semua itu dilakukan dengan rasa hormat yang mendasar terhadap kehidupan, kebebasan, dan martabat seseorang, maka kehidupan politik dapat menjadi suatu bentuk amal yang luar biasa.
***
Paus Fransiskus, dalam pesan perdamaiannya 2019, antara mengutip pidato Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận (1928 – 2002) asal Vietnam, pada tahun 2002.
Pada waktu itu, di Padua, Italia utara tak jauh dari Venetia, Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận, menyampaikan “Sabda Bahagia Politisi” (Beatitudes of the Politician).
Demikian kata Kardinal François-Xavier Nguyễn Vãn Thuận yang wafat pada tahun 2002 itu:
Terberkatilah politisi yang berakal budi dan memahami perannya secara mendalam.
Berbahagialah politisi yang secara pribadi memberikan contoh kredibilitas.
Berbahagialah politisi yang bekerja demi kebaikan bersama dan bukan kepentingannya sendiri.
Berbahagialah politisi yang tetap konsisten.
Berbahagialah politisi yang bekerja untuk persatuan.
Berbahagialah politisi yang bekerja untuk mencapai perubahan radikal.
Berbahagialah politisi yang mampu mendengarkan.
Berbahagialah politisi yang tidak memiliki rasa takut (untuk senantiasa membela kebenaran, menjunjung tinggi moralitas, dan memajukan peradaban manusia).
Pesan itu sangat indah. Sayangnya, banyak yang lebih suka ketidakindahan. Sayangnya lagi, banyak yang memiliki mata tetapi tidak mampu atau bahkan tidak mau melihat keindahan. Dan juga, yang punya telinga tidak mau mendengarkan kabar yang indah-indah.
***
Pope and politics. Dengan kata kunci itu, saya cari di internet tentang Paus dan politik, setelah membaca refleksinya. Saya temukan banyak berita tentang hal itu.
Misalnya, Pope: we must all engage in politics for the common good Pope: May the great dream of fraternity inspire good pilitics; 5 Tips from Pope Francis for “a Better Kind of Pilitics”; Pope Francis offers guidance to young Christian in politics; Chatolics must be active in politics, not matter how ‘dirty’, pope says; Pope Francis: ‘The Church is not a pilitical organization that has left and….
Baca Juga: Pesan Michelangelo
Masih banyak lagi. Yang menarik, saya temukan cuplikan berita Majalah Time, 22 September 1924. Diceritakan, ketika itu beberapa mahasiswa Italia mengatakan kepada Paus XI, ‘Semesti Paus netral secara politi.’
Apa jawaban Paus Pius XI? “Ketika Politik mendekati Altar, maka Agama, Gereja, Paus tidak hanya mempunyai hak tetapi juga berkewajiban untuk memberikan arahan dan indikasi yang harus diikuti oleh umat Katolik,” katanya..
Tentu politik Paus adalah politik kemanusiaan, bukan politik kekuasaan. Politik yang bertujuan untuk mewujudkan common good.
Tentang common good ini, dokumen Vatikan II yakni Gaudium et Spes (Bab.2: 26) menjelaskan common good itu sebagai “keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri.”
Kebutuhan manusia ini mencakup segala hal. Misalnya, mulai dari pendidikan, kebijakan sipil, kesehatan, upah, peraturan hukum yang manusiawi, kebebasan berpolitik, bicara, dan berkumpul, hak-hak demokrasi, martabat, hak asasi manusia, solidaritas, subsidiaritas, keadilan, hingga udara dan lingkungan yang bersih.
Sampai di sini, saya membaca pesan perdamaian Paus, “Sabda Bahagia Politisi”-nya Kardinal Nguyễn Vãn Thuận, dan refleksi politik Paus….
Ini visi politik tentang kebaikan bersama, yang perlu terus diteriakkan.
Meskipun seperti berteriak di tengah padang gurun. Tapi, suara rakyat, vox populi, bisa menjadi vox Dei bila diteriakkan dari hati yang tulus, jujur, dan bersih; yang memperjuangkan kebaikan bersama dengan menyisihkan kepentingan diri, kelompok, dan golongan; yang didasarkan pada prinsip-prinsip moralitas, nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Bila demikian, vox populi menjadi suara kebenaran. Meskipun sekarang kebenaran kurang mendapat tempat dan bahkan ada yang sengaja memalingkan telinganya dari kebenaran. Tapi, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Sebab, setiap orang yang berasal dari kebenaran akan mendengarkan kebenaran.
Suara rakyat, vox populi meski belum tentu vox Dei, tetapi bukan vox diaboli, suara setan…Vox diaboli muncul dari keangkuhan hati, kesombongan dan keangkuhan diri; dari sifat adigang, adigung, dan adiguna yang mengedepankan aji mumpung.
****
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.