Lalu, pada tanggal 17 Desember 1949, Bung Karno diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesi Serikat (RIS) di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta. Tetapi, mengapa patung Bung Karno itu tidak diletakkan di Titik Nol melainkan di desa Karang Klethak, sembunyi tak jauh dari rumpun bambu?
Bukankah Titik Nol jauh lebih strategis dibanding Omah Petroek? Bukankah Titik Nol secara historis lebih berbobot dibandingkan Omah Petroek? Rasanya, masyarakat Yogya tidak akan menolak kalau patung Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat itu ditempatkan di Titik Nol.
Bukankah di sekitaran Titik Nol ada banyak bangunan bersejarah. Titik Nol menjadi titik pertemuan antara Jalan Malioboro (dari utara), Jalan Pangurakan (dari selatan), Jalan KH Ahmad Dahlan (dari barat), dan Jalan Panembahan Senopati (dari timur). Dulu, dari tahun 1970-an sampai tahun 1980-an, di tempat itu ada air mancurnya. Maka sering disebut perempatan air mancur; disebut pula perempatan kantor pos.
Ada bangunan-bangunan lama: Kantor Pos Besar Yogyakarta, gedung Bank BNI, Kantor Perwakilan Bank Indonesia yang dahulu dipergunakan sebagai kantor de Indische Bank. Ada pula Monumen Serangan Umum 1 Maret. Pendek kata, kawasan Titik Nol adalah situs bersejarah.
***
Tetapi, Bung Karno tetap “memilih” Omah Petroek sebagai “tempat keberadaannya,” sebagai “tempat kediamannya.” Mungkin, Omah Petroek dipilih karena selaras dengan sifat, kepribadian “sang pemilik”, Petroek Kanthong Bolong.
Petroek adalah punakawan, abdi, wong cilik, gedibal. Punakawan berasal dari kata pana yang memiliki arti cerdik, jelas, terang, dan cermat dalam pengamatan, serta kawan yang memiliki arti teman atau sahabat.
Punakawan di sini berarti teman atau sahabat (pamong) yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas, memiliki pengamatan yang tajam dan cermat. Dalam Bahasa Jawa dikenal dengan istilah tanggap ing sasmita lan impad pasanging grahita, yang berarti peka dan peduli terhadap berbagai permasalahan.
Maka kata ki dalang, Petroek adalah abdi yang bisa momong, momot, momor, mursid, lan murakabi. Momong, artinya bisa mengasuh, menjadi pemomong. Seorang pemomong antara lain harus memiliki sifat sabar dan mau mendengarkan.
Momot, berarti dapat memuat segala keluhan tuannya, dapat merahasiakan masalah. Ia ibarat kata menjadi “keranjang sampah.” Menerima semua keluhan bukan justru mengeluh.
Momor, artinya tidak sakit hati ketika dikritik dan tidak mudah bangga kalau disanjung. Dalam bahasa anak muda sekarang disebut tidak baperan, senang mendapat tepuk tangan.
Mursid, artinya pintar sebagai abdi, mengetahui kehendak tuannya; tidak justru minteri atau merasa lebih pintar. Dan, murakabi, artinya bermanfaat bagi sesama. Artinya, keberadaannya berguna bagi banyak orang tidak hanya bagi sekelompok kecil atau kelompoknya sendiri.
***
Kiranya, Bung Karno demikian juga. Meski Bung Karno adalah tokoh besar, pemimpin besar tapi pemimpin bangsa yang sangat merakyat. Kata Bung Karno, “Saya ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Saya besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan saya penyambung lidah rakyat” (Cindy Adams).
Karena itu, kata Bung Karno, “Aku ingin melihat kehidupan. Aku milik rakyat. Aku harus melihat mereka, aku harus mendengarkan mereka, dan bersentuhan dengan mereka. Aku merasa bahagia kalau berada di tengah mereka. Bagiku mereka adalah roti kehidupan. Aku membutuhkan massa rakyat.”
Memang, seorang pemimpin (bangsa) tanpa rakyat bukanlah pemimpin. Ia menjadi pemimpin karena ada yang dipimpin yakni rakyat. Maka pemimpin tidak bisa melupakan rakyat. Pemimpin tidak bisa menafikan keberadaan rakyat; tidak bisa menganggap sepi rakyat.
Maka itu, tidak mudah untuk menjadi pemimpin itu. Pertama-tama dan utama adalah mematikan kepentingan diri dan mengutamakan kepentingan orang lain. Untuk menjadi seorang pemimpin harus sudah selesai dengan urusannya sendiri dan bukan justru sebaliknya ingin menjadi pemimpin karena untuk memuaskan nafsu dirinya dalam berbagai kepentingan.
Pendek kata, seorang pemimpin itu mengabdikan dirinya kepada orang yang dipimpinnya; menjadi berkat serta panutan bagi bagi banyak orang, bagi yang dipimpinnya.
***
Dengan berada di Omah Petroek, Bung Karno berada di tengah-tengah rakyat. Karena Bung memang berasal dari rakyat. Ia ingin kembali ke rakyat. Karena rakyatlah jiwa suatu bangsa.
***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.