Pesawat mendadak miring ke kiri lalu ke kanan, membuyarkan anganku tentang Papua, “surga kecil yang jatuh ke bumi” itu. Dari kaca jendela, saya lihat ke bawah hamparan hutan hijau sejauh mata memandang dibelah sungai besar meliuk-liuk seperti badan naga warna coklat.
Sudah 20 menit pesawat kecil itu terbang. Masih 20 menit lagi untuk sampai Bandara Ewer, Asmat. Mesin menderu-nderu. Saya lihat pilot dan kopilot di balik kelambu biru tipis membatasi kokpit dan ruang penumpang. Mereka adalah pahlawan yang memberikan andil menghubungkan daerah terpencil dengan dunia luar.
Pesawat menukik. Dan, terdengar benturan keras. Roda pesawat menyentuh landasan pacu. Sampailah kami di Bandara Ewer, yang kiri-kanan landasan pacunya tumbuh berjajar pohon bakau. Kata sahabat saya, Don Rozano yang selalu mendampingi Mensos, kalau pagi pesawat tidak bisa mendarat. Sebab, air pasang menutup landasan.
Begitu pesawat berhenti, dari jendela saya lihat Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito OFM, Bupati Asmat Elisa Kambu, dan banyak lagi tokoh-tokoh Agats sudah menunggu. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, menyambut Mensos. “Sudah tiga kali Bu Risma mengunjungi Agats,” kata Mgr Murwito saat memberikan sambutan di Keuskupan.
Wajah-wajah gembira itu menceritakan bahwa dua kali kunjungan Mensos di waktu sebelumnya sangat dirasakan manfaatnya. Mereka berharap bahwa kunjungan ketiga semakin dirasakan manfaatnya.
Semestinya memang demikian. Kunjungan pejabat bukan sekadar sebuah acara seremonial, gunting pita, tanam pohon, peletakan batu pertama, foto-foto tapi memberikan manfaat, manfaat jangka panjang bagi masyarakat daerah/kota yang dikunjungi. Tidak seperti saat ini, banyak pejabat mendekati rakyat dan menganggap rakyat ada karena ingin meminta suara.
Ketika akhirnya sampai di Agats -setelah naik speedboat dari Pelabuhan Kausari sekitar satu kilometer dari Bandara Ewer, menyusuri Sungai Asewet selama 15 menit- sangat terasa betapa hidup di Jakarta dan kota-kota di Jawa sangat berlebihan, berkecukupan. Semua serba ada; dan bisa didapat.
Di Agats, tidak tercium “bau” Jakarta yang serba pura-pura. Kebohongan juga tidak merajalela di Agats. Getaran Jakarta juga kurang terasa, beda dengan di Jayapura yang meskipun letaknya lebih ke timur, dekat dengan PNG.
***
Agats yang terletak di pesisir barat Papua menghadap Laut Arafura, sungguh memesona dalam kesederhanaannya. Kota ini terletak di delta Sungai Asewets, di daerah dataran rendah pasang surut, tanah berlumpur dan berawa.
Pada saat pasang, air dapat naik hingga 5 meter di atas permukaan laut, menghasilkan konstruksi unik kota tempat semua bangunan dan jalan ditinggikan dengan struktur kayu, dan yang lebih baru, beton, terutama jalan-jalan utama. Inilah kota di atas papan.
Seluruh jalan di Kota Agats memang menyerupai jembatan yang dibuat dari kayu besi. Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, jembatan-jembatan ini kemudian diganti beton, terutama jalan-jalan utama. Alat transportasi utama adalah motor listrik. Hanya ada dua mobil: keduanya ambulans.
Penduduk menggunakan perahu untuk bepergian karena harus lewat sungai-sungai dan rawa-rawa. Maka Mensos Risma memberikan bantuan 27 longboat fiberglass yang dibuat oleh para pemuda Agats yang sudah mengikuti pelatihan di Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Keterbatasan lain yang dimiliki Agats adalah kurangnya pasokan air bersih. Masyarakat Agats hingga kini bertahan dengan air hujan yang ditampung di tabung-tabung air. Kondisi tanah rawa memang membuat tanah ini sulit menyediakan air bersih.
Kondisi itu dijawab Mensos Risma dengan memberikan bantuan alat desalinasi air laut. Desalinasi air laut merupakan proses untuk menghilangkan kadar garam berlebih yang terkandung di dalam air agar bisa dikonsumsi.
Tetapi, seperti dikatakan Mgr Murwito, dibutuhkan waktu untuk mengubah mental dan menumbuhkan budaya baru. Tidak mudah membawa masyarakat yang semula tertutup memasuki dunia terbuka dengan segala macam tantangannya. Tapi harus dilakukan dengan semangat, ketulusan hati, totalitas, dan kesabaran.
Sudah bukan zamannya lagi, tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan hanya mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi semata. Tetapi, harus memerhatikan masalah khusus dan aspek identitas politik masyarakat setempat.
***
Agats, kata Mgr Murwito dapat dikatakan belum lama “menghirup udara kebebasan” tidak seperti di daerah lain di negeri ini. Maka jangan sampai warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Juga jangan sampai kebijakan pembangunan mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Maka Mensos Risma, tidak sekadar memberikan bantuan, tapi melibatkan mereka. Ketika mereka minta bantuan perahu, Mensos mengabulkan permintaan itu. Tapi, harus mereka sendiri yang membuat disertai pendidikan dan pendampingan.
Kata Mensos, mereka harus terlibat dan dilibatkan, tidak sekadar kridha lumahing hasta menengadahkan tangan. Hal semacam itu mencerminkan sikap yang hanya ingin menerima, berharap atau menuntut saja, tidak mau berusaha sendiri. “Kami mendidik mereka untuk percaya diri dan mandiri, tidak sekadar menunggu dan menerima pemberian,” kata Mensos Risma.
“Ya, memberi itu mudah. Tapi, apakah itu menyelesaikan persoalan?” kata Mgr Murwito dalam nada tanya, namun bangga bahwa sejumlah pemuda di Agats sudah menyingkap selubung matahari.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.