Hari Minggu kemarin, saya mendapat undangan buka puasa di rumah Rektor UIII Komaruddin Hidayat, di Ciputat, Tangerang Selatan. Yang diundang banyak. Ada wartawan. Ada penggiat gerakan lintas agama. Ada pengajar UIII dan juga UIN Syarif Hidayatullah. Dan, tentu saja para aktivis Caknurian Urban Sufism. Tentu, laki-laki dan perempuan.
Kata Komaruddin, shohib al-bait, pertemuan di rumahnya itu bagian dari kegiatan Caknurian Urban Sufism with Komaruddin. Kegiatan ini dimulai sejak awal pandemi Covid-19.
Niat awalnya, kata Komaruddin, kegiatan Caknurian Urban Sufism itu untuk menemani sahabat-sahabat yang terkurung di rumah karena pandemi. Pandemi telah “mematikan” berbagai bahkan hampir semua kegiatan di luar rumah. Kalaupun dilakukan, itu pun dengan berbagai batasan dan aturan.
Dan, Caknurian Urban Sufism with Komaruddin menjadi forum diskusi tematik dengan menghadirkan narasumber dari berbagai kalangan, disiplin ilmu, latar belakang agama, dan baik dalam maupun luar negeri–orang Indonesia maupun asing.
Kata Komaruddin, forum ini semacam kafe. Menunya ganti-ganti. Suasananya dialogis. Tidak masif pesertanya, berkisar antara 40 -100 orang. Saya rasa, inilah tindakan terdidik, berbudaya, dan cerdas ketimbang mengritik tanpa dasar kecuali kebencian terhadap segala kebijakan pemerintah, mengecam sana-sini tapi tanpa pernah berani berkaca diri apa yang sudah dihasilkan bagi negeri, menyebarkan berita hoaks, dan sebagainya.
Kemarin, kami mendiskusikan banyak hal: dinamika politik di Timur Tengah serta peran Indonesia, dampak dari climate change, dan juga serba sedikit menyinggung dunia pendidikan. Kami mendiskusikannya dari berbagai sudut pandang, berbagai perspektif, secara ringan seperti obrolan di kafe. Namun, sangat menarik.
***
Berbagai bacaan menjelaskan bahwa sufisme merupakan sebuah fenomena yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Ini sebagai sebuah manifestasi dan kemunculan dari perhatian masyarakat urban terhadap dunia spiritualisme. Gairah spiritualitas ini diwakili oleh kelas menengah dengan latar belakang neomodernisme.
Maka, meminjam kategori yang pernah disampaikan Azyumardi Azra, ada tiga macam kategori sufisme: student sufism, conventional sufism, dan urban sufism. Kategori pertama, student sufism, adalah kelompok kajian tasawuf yang berlangsung dalam halaqah-halaqah di kalangan mahasiswa dalam lingkungan perguruan tinggi.
Kategori kedua, conventional sufism yakni kelompok kajian tasawuf yang mengacu pada organisasi atau kelompok di masyarakat yang dikenal sebagai thariqah, tarekat. Sedangkan urban sufism adalah perkumpulan tasawuf yang berkembang di daerah perkotaan; spiritualitas kelas menengah (di Indonesia).
Ini adalah konsekuensi keterasingan mereka dari dunia mereka sendiri. Apalagi mereka merasakan kegersangan dan kehampaan spiritualitas bahkan mereka merasa ada yang hilang dari dirinya. Bila kemudian dalam pencariannya kembali melangkah ke “yang salah” maka akibatnya akan buruk, bisa-bisa menjadi tak peduli atau bahkan benci pada pihak atau orang lain yang berbeda. Malah-malah bisa jadi menjadi ekstremis.
Di era masyarakat milenial, sekarang ini, ada yang memaknai urban sufism, tasawuf urban sebagai budaya populer dan menjadi salah satu bentuk pencarian solusi atas persoalan hidup yang sifatnya hanya temporer dan reaksioner.
Budaya populer ini bertujuan sebagai bentuk kebiasaan hidup yang berulang (habitus) dan diterima secara kolektif sebagai bentuk kebiasaan umum. Maka sufisme yang semula berada di ranah privat kemudian berkembang menjadi populer dan diwujudkan dalam simbol-simbol lahiriah. Misalnya, dalam cara berpakaian atau berpenampilan.
Tetapi, tidak demikian dengan Caknurian Urban Sufism with Komarrudin. Sufisme membantu kita untuk bisa mengontrol hati supaya tidak cinta dunia berlebih-lebih. Gaya hidup modern banyak menjerumuskan orang pada sikap materialistis dan hedonistis. Kita tentu lebih membutuhkan sufisme sebagai sistem yang membantu mengelola hati.
Kata Komaruddin, sekarang ini, masyarakat urban cenderung rasional dan eklektik karena pergaulannya yang lintas budaya dan agama. Itulah sebabnya, urban sufism yang digawanginya pun sifatnya inklusif. Artinya, yang mengikuti kegiatan, baik sebagai peserta maupun pembicara, tidak hanya orang-orang Muslim. Misalnya hari Minggu sore kemarin yang ikut diskusi jelang buka puasa: Muslim dan Katolik.
***
Maka–meskipun mungkin ada yang berpendapat terasa berlebihan–buka puasa sore di Ciputat kemarin, mengingatkan saya akan Pertemuan Abu Dhabi antara Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar Mesir Sheik Ahmad Muhammad al-Tayyib, 2019.
Memang, pertemuan kemarin sangat “tidak sebanding dengan pertemuan Abu Dhabi”, sebuah pertemuan yang diharapkan menyadarkan dan membuka pikiran serta mata hati orang-orang berkeadaban bahwa umat manusia apa pun latar-belakangnya adalah saudara. Meskipun “sangat tidak sebanding”, tetapi, semangat pertemuan kemarin selaras dengan semangat Pertemuan Abu Dhabi: Semangat Persaudaraan.
Pertemuan Abu Dhabi yang menghasilkan dokumen berjudul A Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together–Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama–mendesak semua orang yang beriman kepada Tuhan dan kepada persaudaraan manusia untuk bersatu dan bekerja sama.
Dengan demikian, dokumen tersebut menjadi panduan bagi generasi kini, mendatang untuk memajukan budaya saling menghormati dalam kesadaran akan anugerah Tuhan yang agung yang menjadikan semua manusia bersaudara. Kalaupun tidak saudara seiman, ya saudara sebagai sesama warga bangsa dan saudara sesama umat manusia.
Maka buka puasa di Ciputat kemarin–walaupun dalam lingkup kecil–adalah bagian dari usaha untuk meningkatkan dan memperkokoh persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan/persatuan sesama umat manusia (ukhuwah basyariah).
Lingkup kecil, memang. Tetapi, semua bermula dari yang kecil, lingkup kecil. Kata pepatah, perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah. Jangan remehkan satu langkah jika ingin mencapai banyak langkah ke depan. Banyak hal besar berawal dari hal kecil. Ada tertulis, yang setia pada perkara kecil, akan setia pula pada perkara besar.
Dan, sebuah persaudaraan sejati, yang lahir dari niat dan hati yang tulus serta terbuka, tidak bisa terjadi begitu saja. Tetapi, membutuhkan waktu, kejujuran, saling terbuka, saling percaya, saling memahami, dan niat yang sepenuh hati untuk membangun sebuah kehidupan yang aman dan damai, inklusif, saling hormat menghormati dengan lebih mengedepankan persamaan ketimbang perbedaan.
Dengan kata lain tidak seperti dongeng Bandung Bandawasa yang membangun Candi Sewu Prambanan dalam tempo semalam. Tidak! Tetapi, membutuhkan proses yang harus secara penuh kesadaran disemai, dirawat, dipelihara, dijaga, dan dipupuk bersama-sama agar tumbuh, hidup, berkembang, dan berbuah. Dan, buahnya pun banyak.
Mungkin, hal itu terasa seperti ngayawara di tengah masih adanya kelompok-kelompok, komunitas, anggota masyarakat, bahkan tokoh masyarakat, tokoh pendidik, tokoh perguruan tinggi, dan politik yang berusaha mematikan benih-benih atau tunas-tunas persaudaraan, yang sebenarnya merupakan jati diri bangsa ini…. Tetapi, hanya dengan merawat, memelihara, serta menjaga persaudaraan sebagai sesama orang beriman, sebagai sesama anak bangsa, negeri ini akan lestari…
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.