Penulis: Julius Sumant (Senior Journalist KompasTV)
JAKARTA, KOMPAS.TV - Duka atas batalnya Piala Dunia U20 di Indonesia masih menggantung di wajah Garuda Muda, pelatih dan ofisial, serta insan sepak bola Tanah Air. Presiden Joko Widodo atau Jokowi bahkan merasa perlu memberi semangat langsung pada Timnas Indonesia U20 yang sedang patah hati.
Meski jadwal penyelenggaraan Piala Dunia U20 tinggal kurang dari dua bulan, pro-kontra soal keikutsertaan Timnas Israel bereskalasi menjadi polemik level nasional berkat penolakan sejumlah tokoh berpengaruh.
Yang paling jadi sorotan publik adalah penolakan Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang masing-masing wilayahnya menjadi tuan rumah.
Awalnya, FIFA bereaksi dengan membatalkan drawing yang seharusnya digelar 31 Maret 2023 di Bali. Di tengah ketidakpastian nasib Indonesia sebagai tuan rumah, Presiden Jokwoi mengeluarkan penyataan yang memberi jaminan keamanan bagi Timnas Israel.
Jokowi juga mengutus Ketua Umum PSSI Erick Thohir untuk melobi langsung Presiden FIFA Gianni Infantino di Qatar. Upaya lobi gagal. FIFA mengeluarkan keputusan membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah.
Baca Juga: Jika Ditunjuk FIFA, PSSI Tegaskan Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U17
Sepulang dari Qatar, Ketua Umum PSSI Erick Thohir mengaitkan penolakan tim Israel dengan alasan pembatalan oleh FIFA.
"Kembali FIFA ini otoritas tertinggi sepak bola di dunia. Tentu dengan segala keberatan-keberatan yang sudah disampaikan, tentu FIFA melihat ini sebuah, kalau dibilang sebuah intervensi," kata Erick Thohir (31/3).
Penolakan terhadap Timnas Israel untuk ikut serta dalam Piala Dunia U20 di Indonesia merefleksikan kuatnya pandangan realis dalam kasus ini. Dalam studi hubungan internasional, pandangan realis mendasarkan pengambilan kebijakan (decision making policy) pada 3 prinsip utama.
Pertama, politik internasional dipandang bersifat anarki. Kedua, negara adalah aktor utama politik internasional. Ketiga, negara bertindak rasional seseuai kepentingan nasionalnya.
Pandangan realis ini tampaknya yang mendominasi sentimen publik maupun para pengambil kebijakan di berbagai level terkait keikutsertaan Timnas Israel.
Meski sebagian tak menolak karena kehadiran Israel bagian dari agenda FIFA, namun tak sedikit dari sekelompok elit dan ormas mengambil posisi menolak secara terbuka, baik atas alasan konstitusi maupun elektoral.
Tak hanya menimbulkan polarisasi di sekitar kutub pro olah raga dan kutub kontra Timnas Israel, isu Israel yang sensitif juga membuat gamang para pengambil kebijakan.
Hal itu tampak dari maju-mundur upaya melobi FIFA dengan syarat-syarat tertentu. Saking rumitnya isu Israel, malah muncul pula spekulasi situasi sengaja digantung agar FIFA saja yang nantinya mengambil keputusan dan dengan sendirinya mengakhiri polemik domestik.
Wakil Ketua Umum PSSI Ratu Tisha sampai menegaskan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 murni keputusan tunggal FIFA. Ia membantah isu pembatalan karena inisiatif PSSI maupun pemerintah.
Di luar bantahan PSSI, kegamangan pejabat dan politisi dalam menyikapi Timnas Israel U20 berikut kaitannya dengan isu penjajahan Israel terhadap Palestina menempati salah satu piramida tertinggi kepentingan nasional.
Dalam konteks yang sama, pandangan realis ini nyatanya mendapat tantangan dari perspektif lain: transnasionalisme, yang mengakar pada tradisi perspektif neoliberal dalam hubungan internasional.
Sentimen penolakan terhadap kehadiran Timnas Israel di dalam negeri berhadap-hadapan dengan reaksi FIFA yang banyak dinilai sebagai kekuatan non-negara yang pengaruhnya mampu menandingi negara.
Baca Juga: Indonesia Lolos dari Sanksi Berat FIFA Usai Batal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20
Pengakuan Ketua Umum PSSI Erick Thohir bahwa FIFA melihat adanya intervensi dalam penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U20 di Indonesia merupakan bukti FIFA merupakan kekuatan transnasional yang memiliki kemampuan melebihi negara.
Joseph Nye dan Robert Keohane mendefinisikan hubungan transnasional sebagai interaksi di luar batas negara yang tidak dikendalikan oleh organ utama pemerintah.
Margaret Keck dan Kathryn Sikkink menyebut LSM, gerakan sosial lokal, media, organisasi antarpemerintah, maupun bagian atau cabang tertentu dari pejabat negara merupakan aktor non-negara yang bisa mempengaruhi politik internasional.
Lebih lanjut, keduanya mendefinisikan jaringan pendukung transnasional (transnational advocacy network) sebagai sekumpulan aktor yang bertindak secara internasional dalam isu tertentu, terikat oleh nilai bersama, kesamaan kesepakatan, dan pertukaran informasi serta layanan yang intensitasnya ketat.
Atas dasar inilah Indonesia yang telah menyepakati perjanjian penyelenggaraan Piala Dunia U20 tapi belakangan terseret-seret oleh polemik keikutsertaan Timnas Israel menabrak nilai kosmopolitan dan norma universal yang diadopsi FIFA.
Parahnya lagi, FIFA melihat ada intervensi sehingga memutuskan membatalkan status tuan rumah Indonesia.
Federasi sepak bola dunia itu menggunakan apa yang disebut Keck dan Sikkink sebagai “compulsory power”, kekuatan yang tak hanya membujuk namun juga mampu menekan atau memaksakan hal wajib untuk dipatuhi oleh anggotanya.
Indonesia tidak bisa menawar penyelenggaraan Piala Dunia dengan apapun syarat dan alasannya. Termasuk, alasan konstitusi mengamanatkan penghapusan penjajahan yang ditudingkan kepada Israel terhadap Palestina.
Keputusan FIFA membatalkan status tuan rumah Indonesia meskipun jadwal penyelenggaraan sudah di depan mata menunjukkan bagaimana sebuah kekuatan transnasional raksasa bekerja men-diffusi norma globalnya.
Menurut Amitav Acharya, aktor transnasional, termasuk FIFA, tak sekedar sebuah organisasi biasa. Ia membawa norma global yang tentu berdampak pada praktik dan nilai lokal anggotanya.
Dengan kata lain, norma global yang dibawa FIFA lebih berharga dan utama ketimbang norma atau kepercayaan lokal negara anggotanya.
Baca Juga: Hanya Diberi Kartu Kuning oleh FIFA, Indonesia Disebut Berpeluang Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U17
Maka dari itu, bisa dipastikan semua negara anggota FIFA akan tunduk pada statuta dan jika tidak akan dijatuhi sanksi atau dikucilkan. Dalam relasi transnasional juga terjadi apa yang disebut sebagai “pola bumerang”.
Menurut Keck dan Sikkink, “pola bumerang” adalah pola relasi yang memberi aktor lokal peluang untuk naik kelas dengan bergabung dalam jaringan internasional.
Indonesia sebagai anggota FIFA berharap kualitas sepak bolanya naik kelas ke level internasional dengan menjadi anggota, mengikuti standar FIFA dan mendapatkan benefit kompetisi.
Sebaliknya, juga terjadi apa yang disebut Cristoper Pallas sebagai “inverse boomerang effect”, yakni pola bumerang terbalik. Tak hanya mengakomodasi kebutuhan anggota seperti Indonesia, dengan kasus pencabutan status tuan rumah Indonesia, FIFA sebagai aktor transnasional mampu memperkuat legitimasi kelembagaannya secara global.
Baca Juga: Soal Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U17, Indonesia Diminta Fokus Dulu pada Upaya Pencabutan Sanksi FIFA
Dalam kasus penolakan Timnas Israel di Indonesia, keputusan FIFA meneguhkan otoritasnya yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara anggota mana pun. Kasus gagalnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 dijadikan FIFA sebagai semacam monumen peringatan bagi seluruh anggota FIFA agar patuh pada statuta.
Adu pengaruh antara FIFA dan Indonesia sebelum keputusan pembatalan menandakan ada jurang pemahaman antara pandangan realis yang dianut sebagian masyarakat maupun elit politik di Indonesia, dan di sisi lain pandangan liberal/transnasional yang mengutamakan kerja sama dan norma global di atas kepentingan negara.
Di dalam negeri, isu Israel menimbulkan polemik kelompok pro dan kontra. Juga imbasnya Garuda Muda batal tanding. Sementara di panggung global, Indonesia kehilangan peluang emasnya dan kini juga terancam sanksi FIFA.
Tak tertutup kemungkinan di lain waktu isu serupa akan kembali terulang. Indonesia bisa kena imbas yang sama jika kurang kalkulasi yang matang.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.