Suatu hari, tahun berapa saya sudah lupa, di kantor redaksi Kompas, untuk pertama kalinya saya mendengar ungkapan “noblesse oblige.” Pak Jakob Oetama, pemimpin harian Kompas-lah yang mengatakan.
Setelah itu, berkali-kali saya mendengar ungkapan tersebut. Ungkapan “noblesse oblige” dipungut dari bahasa Prancis. Secara sederhana ungkapan itu berarti “nama yang luhur mengandung tanggung jawab yang luhur pula.”
Seorang pemimpin–entah itu pemimpin negara, lembaga-lembaga negara, partai politik, masyarakat, agama, maupun organisasi kemasyarakatan–adalah noble man. Karena gagasan tindakannya yang (seyogyanya) sarat pengabdian dan penuh ketulusan, bukan karena keturunan atau statusnya secara genealogis.
Itulah noblesse oblige, keningratan yang memberinya kewajiban. Pendek kata, setiap jabatan atau kedudukan dalam dirinya terkandung tanggung jawab. Kekuasaan mendatangkan tanggung jawab.
Dengan kata lain, setiap pemimpin (pemimpin apa pun) atau tokoh masyarakat, harus mempertanggungjawabkan keluhurannya itu. Yakni, baik dalam ucapan maupun tindakannya. Itulah dimensi sosial dan etika dari suatu jabatan.
***
Martabat atau harga diri seseorang selalu dikaitkan dengan sifat rasa kemanusiaan. Yakni sikap diri yang selalu mengutamakan perilaku kemanusiaan (kamanungsan) dalam memperlakukan orang lain; dalam berhubungan dengan orang lain.
Bila sudah tidak mampu lagi memposisikan diri dalam berhubungan dengan orang lain, juga tidak baik dalam memperlakukan orang lain–misalnya di dalam budaya masyarakat Jawa–disebut sebagai sudah tidak lagi memiliki martabat, tak memiliki harga diri.
Bila demikian, maka lalu (sekali lagi dalam budaya Jawa, misalnya) dianggap sebagai “wis ilang kamanungsane” atau _“dudu manungsa maneh” atau lebih khusus lagi “wis ilang jawane”_ atau “ora njawani.”
Maka dalam filosofi Jawa dikenal pitutur, peribahasa, “Ajining diri saka lathi, Ajining raga saka busana”, artinya harga diri seseorang ditentukan oleh ucapan, kehormatan seseorang ditentukan oleh busana. Jika suka berbohong, maka tidak akan dipercaya orang lain. Sekalipun omongannya benar, orang sudah telanjur tidak percaya.
Apalagi kalau sebagai pemimpin atau tokoh atau panutan banyak orang, tetapi omongannya tidak santun, meninggalkan tata krama, kasar, suka melecehkan atau menghina orang dengan merasa dirinya paling tahu paling bersih, maka sama saja merendahkan martabatnya sendiri; merusak harga dirinya sendiri. Dengan cara seperti itu, membiarkan lidahnya bebas tak terkendali sama saja menodai kehormatannya sendiri.
Ada tertulis nasihat bijak, “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu.” Kata sebuah amsal, “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.”
Dengan kata lain, kata-kata yang diucapkan memiliki kuasa untuk menentukan kehidupan atau kematian. Oleh sebab itu, harus berhati-hati menggunakan lidah. Kata-kata kasar, dusta, fitnah, gosip, umpatan, penghinaan, dan lain-lainnya yang diucapkan lidah lalu keluar dari mulut, pada akhirnya akan berbalik mengenai diri sendiri. Akibatnya akan menjadi orang yang tidak disukai, dipandang sebelah mata, bahkan tidak dapat dipercaya.
Bukankah, orang mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga kuda menuruti kehendak orang yang mengendalikannya? Karena kekang itu telah membuat lidah dan mulutnya tak berdaya. Dan kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi.
Demikian pula lidah di mulut manusia, walau kecil dapat mendatangkan kemuliaan juga kehinaan; kebahagiaan juga kesedihan.
Maka kalau biasa banyak omong, tanpa bukti nyata, banyak bicara sedikit (tak pernah) kerja, ya tidak akan dipercaya orang dan dicap sebagai “omdo” atau nato, no action talk only. Orang yang demikian akan dikatakan sebagai “Kakehan gludhug kurang udan”, orang yang banyak bicara tetapi kenyataannya kosong alias omdo.
Mungkin ada tetangga atau kawan atau saudara atau bahkan malah diri kita sendiri suka bicara muluk-muluk, tinggi-tinggi, akan disebut (dalam bahasa Jawa) “umuk ketekuk-ketekuk”, sombongnya tak terkira.
Orang yang selalu bicara dengan kasar, tidak memandang tempat dan lawan bicara, sehingga tidak saja menyinggung perasaan orang lain, juga merendahkan martabatnya sendiri, maka akan dikatakan, “ora ngerti subasita; ora ngerti empan papan” tidak tahu tata krama, tidak bisa menempatkan diri pada situasi dan tempat yang tepat.
***
Kata pepatah Ex nihilo nihil fit, tak ada sesuatu pun yang muncul dari ketiadaan. Demikian pula, setiap omongan kita pun tidak muncul tiba-tiba begitu saja dari lidah dan keluar dari mulut tanpa diketahui otak dan hati.
Pada akhirnya kalau toh semua itu dianggap seperti kata Kaisar Agustus (27 SM – 14 M) “Acta est fabula”, apa yang terjadi adalah sebuah kisah, sebuah sandiwara, sebuah permainan, maka ingatlah “Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.” Orang yang melakukan perbuatan buruk, jahat meskipun kuat, digdaya, dan punya kuasa, pasti akan kalah dengan orang yang berbuat baik; berhati baik. ***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.