Kepercayaan adalah elemen penting dalam efektivitas hubungan (dalam hal ini antar-negara) karena mengilhami kolaborasi dan komitmen untuk tujuan yang sama.
Bagaimana bisa dipercaya? Itu pertanyaannya. Dan, Indonesia sudah melakoni perjalanan panjang untuk sampai pada akhirnya dinilai oleh negara-negara lain dapat menjadi trust partner.
"Karena Indonesia mau mendengarkan; Indonesia menjadikan semua pihak nyaman, tidak pernah mempermalukan," kata Menlu Retno Marsudi.
Hal itu tergambar dalam proses disepakatinya Leaders' Declaration Bali; bagaimana Indonesia bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak, terutama berkait dengan masalah perang Ukraina.
Proses mencapai kesepakatan atas deklarasi tersebut sangat panjang dan melibatkan beberapa putaran negosiasi.
Negosiasi final dilakukan pada 10-14 November 2022, yakni hingga satu hari sebelum KTT G20. Kata filsuf Romawi kuno, Seneca (4 SM - 65 M), Non est astra mollis e terris via, tidak ada cara yang mudah untuk mencapai bintang-bintang dari bumi.
Hal itu menggambarkan bahwa negosiasi berjalan dengan sangat berat. Meski demikian, Indonesia sebagai pemegang mandat presidensi tidak pernah menyerah, melainkan terus mencoba melihat apakah masih ada celah yang dapat digunakan.
Kata Menlu Retno, celah-celah inilah yang berusaha kita gunakan, sehingga akhirnya kesepakatan tercapai.
Maka, tidak berlebihan kalau kemudian Menlu Retno Marsudi mengatakan, "Sebuah terobosan besar telah dilakukan Indonesia", karena disepakatinya deklarasi itu.
Semua itu pada dasarnya menegaskan bahwa kepercayaan sangat penting jika ingin ada hasil positif antara aktor negara dan negara, antara negara, dan non-negara.
Karena, mitra mana pun dalam upaya besar untuk diplomasi, bisnis, dan kerja sama akan dilihat oleh pihak lain sebagai kredibel atau tidak. Tidak ada aliansi yang bisa terwujud bila tanpa adanya trust.
Namun, kepercayaan membutuhkan waktu untuk dibangun dan dipertahankan. Maka seperti dikatakan Menlu Retno, trust tercipta karena investasi politik luar negeri Indonesia yang sangat lama.
Di bidang diplomasi, kata Sana Jaffrey, Indonesia telah mengonsolidasikan posisinya sebagai kekuatan menengah yang percaya diri dengan menengahi konflik regional dan membangun arsitektur keamanan multilateral untuk mengamati secara ketat ambisi teritorial China di Asia Tenggara.
Indonesia juga berupaya mengusahakan perdamaian. Indonesia mengkritik sanksi Barat terhadap Rusia.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Kyiv, Ukraina dan Moskwa, Rusia dalam usaha mendorong berhentinya perang dan terciptanya perdamaian, misalnya, adalah langkah untuk membangun kepercayaan dunia. Sebab, bila tidak ada trust, tidak akan ada perdamaian.
Maka The Economist (19 November) menulis Presiden Jokowi mungkin satu-satunya orang yang pernah bertemu dengan Presiden Joe Biden, Xi Jinping, Vladimir Putin, dan Volodomyr Zelensky tahun ini.
Ini adalah "investasi pribadi" Presiden Jokowi. Dengan semua itu, Presiden Jokowi dapat meredam ancaman boikot KTT jika Rusia "disingkirkan".
Terlepas dari bahwa akhirnya Putin tidak hadir dan diwaliki Menlu Sergei Lavrov, KTT G20 dihadiri 17 pemimpin negara dan pemerintahan.
Semua berjalan lancar, tertib, aman, dan bahkan menghasilkan deklarasi. Padahal, sebelumnya banyak diragukan.
Semua itu berlangsung dan terjadi karena ada kepercayaan (trust) negara-negara lain, tidak hanya dari negara kekuatan besar tapi juga kecil, terhadap Indonesia.
Yang kecil menaruh kepercayaan pada Indonesia. Karena, mereka melihat dan menilai, Indonesia tidak memiliki pretensi untuk menjadi kekuatan hegemonik. Namun, cukup besar untuk memberikan tekanan jika diperlukan.
Dengan kata lain, Indonesia dapat memainkan peran yang sederhana, namun berharga ketika kekuatan global mencoba menjadi terlalu berotot. Inilah yang oleh Menlu Retno Marsudi disebutnya "bridge builder".
Kata Menlu Retno, peran bridge builder ini lebih mudah dimainkan saat perbedaan tidak begitu dalam dan tidak begitu tajam.
Tetapi, tidak mudah memerankan peran bridge builder saat perbedaannya sangat tajam dan situasi psikologis semua pihak sangat emosional.
Selama berlangsung KTT, hal tersebut tergambar jelas. Sebagai tuan rumah G20, presidensi, Indonesia bekerja keras untuk mencegah agar perang (Ukraina) tidak menguasai KTT. Karena itu, tetap fokus lebih memilih untuk menangani masalah-masalah ekonomi.
Maka dalam pidato pembukaan Presiden Jokowi secara tegas mengatakan, kita harus mengakhiri perang. Jika perang tidak diakhiri, dunia akan sulit maju. Kita tidak boleh membiarkan Perang Dingin terjadi lagi.
KTT G20 telah berakhir. Mandat presidensi yang dipegang Indonesia sudah diserahkan pada India yang akan memegang presidensi G20 dan KTT tahun 2023.
Dalam pidatonya, Presiden Jokowi meminta kepada semua pimpinan G20 yang hadir untuk mendukung India tahun depan.
Tidak ada yang meragukan kemajuan nyata Indonesia dan citra positif di panggung global. Menjadi tuan rumah KTT G20 memungkinkan Indonesia untuk membangun jaringan hubungan yang dapat mengangkat bangsa ke tingkat yang lebih tinggi di tangga global bangsa.
Dan, bagi Indonesia, pengalaman memegang presidensi G20 akan membuatnya lebih siap menghadapi tantangan yang ada di depan.
Pada akhirnya dari seluruh rangkaian pelaksanaan KTT G20, dapat kiranya dikatakan bahwa Indonesia, sebagai kekuatan tengah yang ikonik yang memperoleh kepercayaan dunia, dapat memainkan peran yang lebih berharga, lebih besar di antara persaingan negara-negara besar di masa depan.*
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.