Sering pula Sengkuni diceritakan sebagai tokoh yang lihai merangkai alasan; mampu berpura-pura baik padahal mau menjerumuskan. Maka Sengkuni disebut sebagai salah satu tokoh yang memiliki sejuta kebusukan. Ia berhasil merangkai bahkan meramu kebusukan menjadi suatu hal yang dengan mudah diamini saja.
***
Ada pula tokoh yang kesetiaannya pada negara melebihi kesetiaannya pada keluarga, bahkan pada kebenaran. Right or wrong is my country. Begitu, kira-kira. Misalnya Adipati Karna dalam perang Bharatayuda tetap membela Kurawa, karena merasa sudah memeroleh segala-galanya -derajat, pangkat, semat dan sebagainya- dari raja Astina. Meskipun Karna sudah dibujuk ibunya, Dewi Kunti, dan diberitahu bahwa sebenarnya ia satu ibu dengan Pandawa.
Contoh lain, Kumbakarna. Ia tetap membela Ngalengkadiraja yang diserbu Prabu Rama dan pasukan keranya. Meskipun penyerbuan itu terjadi karena ulah kakaknya, Dasamuka yang mengumbar hawa nafsu birahi dengan menculik Dewi Sinta, istri Prabu Rama. Kumbakarna adalah tokoh jujur, membela yang benar, bukan yang mbayar.
Cerita wayang juga bisa menjadi cermin bagi pemimpin. Misalnya, seorang pemimpin pantang menarik ucapannya. Seorang pemimpin harus bisa dipegang omongannya. Tidak mencla-mencle. Tidak esuk dele, sore tempe. Pemimpin harus bisa memertanggungjawabkan dan mewujudkan omongannya, bukan hanya sekadar pandai bersilat lidah; sehingga menjadi pemimpin kata-kata belaka.
Dalam dunia politik, memang, kata-kata diperlukan untuk membangun citra. Maka, di negeri ini, prestasi tak mampu mengalahkan kata-kata. Dalam pilkada atau pemilu, biasanya pemilih terutama di desa-desa, tak paham, tak mudeng apa itu prestasi.
Pokoknya, kata-kata yang ndakik-ndakik, muluk-muluk yang lebih mujarab. Maka lahirlah politik kata-kata. Sekarang ini, sedang awal musim kata-kata. Musim politik kata-kata. Tahun depan, akan makin menjadi-jadi, akan ada obral kata-kata.
Kadang karena hanya main kata-kata maka terlihat bodoh. Tapi, kata Napoleon Bonaparte (1769-1821) dalam politik, kebodohan bukanlah cacat. Artinya tidak dianggap memalukan. Maka jangan heran banyak yang membuat pernyataan bodoh, tapi tidak malu.
Politik kata-kata dimaksudkan untuk mengambil perhatian rakyat, Ad captandum vulgus. Yakni dengan memberikan janji-janji manis pada rakyat. Maka kata George Orwell (1903-1950), bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan menjadi dihormati.
Dalam dunia pewayangan, hal bertutur kata pun, dimaknai. Kehalusan berbahasa dan nada suara yang pelan adalah ciri satria terhormat. Sebaliknya suara lantang dan tutur kata yang kasar digolongkan sebagai sifat raksasa dari negeri seberang alias tidak njawani.
Sebaliknya, dalam cerita wayang, jiwa ksatria tidak mengenal kata mundur bila benar. Akan tetapi selalu siap mengaku salah ketika khilaf. Tidak mencari kambing hitam, lempar batu sembunyi tangan. Sudah salah, berteriak lantang dan ngotot sambil menuding pihak lain yang salah. Itu yang kerap kali terjadi.
***
Kata Soemarsono, yang menarik konflik adalah bagian tak terpisahkan dari cerita wayang. Kisah Bharatayuda menceritakan perang trah Bharata -Pandawa dan Kurawa- memperebutkan negara Astinapura. Perang terjadi karena ada kelicikan, ada kebohongan, ada pengingkaran janji, serta ada nafsu untuk berkuasa.
Tetapi, sebenarnya sumber utama persoalan adalah nafsu. Nafsu akan kekuasaan. Ketika seseorang dikuasai nafsu maka lenyaplah akal budi. Lahirlah niat dan perilaku jahat. Karena nafsu akan kekuasaan, segala cara dilakukan demi kekuasaan; orang jadi Machiavellian, menghalalkan segala usaha dan cara, tak peduli akibatnya meskipun rusak-rusakan.
Dalam konteks sekarang, misalkan, memainkan politik identitas dalam memerebutkan kekuasaan. Hal itu terjadi karena kuatnya nafsu kekuasaan. Maka jalan Machiavellian-lah yang ditempuh. Peduli amat dengan akibatnya. Yang penting, aku berkuasa.
Kata orang bijak, hidup adalah pertarungan dalam diri manusia antara menyeimbangkan nafsu dan akal budi. Nah, wayang adalah cerita kehidupan, bayang-bayang kehidupan. Maka, wayang adalah tempat manusia bercermin tentang kehidupan dan bukan sekadar sebagai Ad captandum vulgus….
***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.