Karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalis yang memuliakan kemanusiaan, maka menurut Bung Karno, nasionalisme Indonesia tidaklah nasionalisme “chauvinis” atau “provinsialis” yang memecah belah. Nasionalisme semacam itu, adalah bentuk “assyabiyah yang dikutuk Allah.”
Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan; menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara; bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri.
Selain itu juga mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa; menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia; mengembangkan sikap tenggang rasa.
III
Rasanya, sekarang, ketika pandemi Covid-19 masih menelikung negeri ini perlu kiranya perlu “merenungkan ulang” nasionalisme Indonesia yang dilandasi nilai-nilai Pancasila itu.
Semestinya, memang, pandemi Covid-19 semakin meneguhkan rasa nasionalisme kita semua, bukan justru sebaliknya.
Bukankah semestinya, nasionalisme menempatkan loyalitas kepada bangsa di atas segala bentuk loyalitas politik dan sosial lainnya.
Bukankah juga nasionalisme tidak hanya menjadikan bangsa sebagai fokus kesetiaan politik, tetapi juga menegaskan bahwa bangsa adalah satu-satunya dasar yang tepat bagi organisasi setiap aktivitas politik
Tetapi, sulit dipungkiri bahwa masih ada yang mengikis rasa kemanusiaan dan kebangsaan demi keuntungan materi, keuntungan politik, keuntungan golongan, atau sekadar cari popularitas.
Ada yang karena kegagalan sendiri, ketidakmampuan sendiri, kekalahan sendiri lantas menyalahkan pemerintah yang tengah berjuang mati-matian menghadapi pandemi Covid-19.
Mereka menyebut pemerintah gagal, lip service, ingkar janji dan sebagainya.
Ada yang menginginkan—bahkan menyatakan—pemerintah gagal dalam menangani pandemi Covid-19.
Maka mereka bersuara sesukanya, sumbang, tidak seindah Rayuan Pulau Kelapa.
Kenyataan seperti itu, mengingatkan akan apa yang dikatakan Indonesianis Ben Anderson (1936-2015).
Dalam ceramahnya tentang Nasionalisme Kini dan Esok, di Jakarta, Ben mengatakan, kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menjemuk sangat penting bagi kelanjutan bangsa ini.
Oleh karena itu, nasionalisme atau semangat kebangsaan, merupakan proyek bersama yang senantiasa harus diperjuangkan (Kompas, 5 Maret 1999). Proyek bersama!
Untung saja, masih banyak yang mau berepot-repot dan berlelah-lelah merawat nasionalisme.
Untung juga masih ada yang sadar, yang punya hati, dan peduli akan nasib sesama—sebagai sesama anak bangsa, senasib sepenanggungan—membagikan makanan gratis, sayuran gratis, sembako gratis, menyumbangkan peti mati, membuat pusat pengobatan, mengadakan vaksinasi massal, membagi oksigen gratis, tenaga gratis dengan menjadi relawan mengurusi yang isoman, dan banyak lagi tindakan-tindakan kemanusiaan lainnya.
Melihat semua itu, benar yang dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM) seorang pengarang komik bahwa homo homini deus est, manusia adalah dewa bagi sesama; bila, saling membantu, mendukung, dan meneguhkan sesamanya.
Tetapi, juga bisa menjadi homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi sesamanya.
“Manusia serigala” itulah yang bisa dengan mudah kita saksikan di masa pandemi Covid-19 ini di berbagai media: cetak, elektronik, termasuk terutama media sosial….***
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.