Bahkan mereka telah menyiapkan perwira Baret Merah generasi berikut, agar tetap eksis di panggung politik nasional. Luhut telah menyiapkan Lodewijk F Paulus (Akmil 1981, kini Sekjen Golkar), sementara Hendropriyono sudah sejak lama diketahu meng-endorse Jenderal Andika Perkasa (KSAD), yang kebetulan adalah kerabatnya.
Peran Senior dalam Karier
Moeldoko adalah perwira panutan bagi yuniornya di Akmil, berdasar perjalanan karier dan kecerdasannya yang cemerlang. Oleh karenanya Moeldoko perlu berpikir lebih matang dalam meniti jalur politik praktis, karena dirinya akan dijadikan referensi bagi generasi perwira berikutnya. Menghormati senior adalah salah satu etika bagi taruna Akmil, yang idealnya terus dipegang jauh, sampai di kemudian hari.
Patronase atau bantuan senior dalam karier militer adalah perkara biasa, khususnya dalam level perwira tinggi. Kedekatan personal antara senior dan yunior sudah terbentuk jauh hari, setidaknya ketika sama-sama masih berstatus taruna. Kemudian berlanjut ketika bertugas dalam satuan, baik satuan tempur maupun satuan teritorial. Melesatnya karier seorang perwira, tidak terlepas dari sentuhan senior atau patronnya.
Sebagaimana yang terjadi pada Moeldoko, kariernya bisa cemerlang tentu saja ada peran SBY, yang menjadi Presiden dan Panglima Tinggi TNI (saat itu). Sekadar perbandingan, perwira yang diketahui sangat dekat dengan SBY, yaitu Letjen M Munir (Akmil 1983), gagal menjadi KSAD, karena rezim telah berganti, artinya nasib Munir kurang mujur.
Satu hal menarik dari Moeldoko, dia bisa memiliki lebih dari satu patron sesuai lini waktu, sejak masih perwira pertama hingga perwira tinggi. Saat perwira pertama (sampai pangkat kapten) patronnya adalah Soegiono (Akmil 1971, pangkat terakhir Letjen).
Soegiono adalah perwira yang dikenal sangat dekat dengan Soeharto. Saat masih menjabat Kepala Staf Brigif 1/Jaya Sakti, adalah Soegiono yang menarik Moeldoko ke Jakarta, dari Makassar (Yonif 700 Raider). Sekadar diketahui, selepas Kasbrigif 1/Jaya Sakti, Soegiono kemudian diangkat sebagai Komandan Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad, jabatan yang kemudian digantikan oleh SBY.
Kemudian saat pamen, mulai pangkat mayor sampai letnan kolonel, patronnya adalah Hendropriyono, Pangdam Jaya periode 1993-1995. Kemudian saat Moledoko berpangkat kolonel (senior), sampai menjelang memasuki level pati, bersamaan waktunya dengan era SBY sebagai Presiden. Dengan sendirinya nama Moeldoko masuk dalam “radar” SBY, selain karena sama-sama sebagai lulusan terbaik di Akmil, juga pernah sama-sama saat berdinas di Kodam Jaya.
Patronase pula yang menjadikan karier SBY berjalan demikian cepat, hingga sempat melewati salah seorang seniornya yang juga berlatar belakang kuat, yakni Agus Wijoyo (Akmil 1970, kini Gubernur Lemhanas). Saat dipromosikan sebagai Pangdam II/Sriwijaya (pos bintang dua), pada pertengahan dekade 1990-an, SBY mengisi posisi yang semula disiapkan bagi Agus Wijoyo, karena Agus saat itu sudah menduduki Kasdam II/Sriwijaya dan lebih senior pula.
Kemudian lewat sentuhan Jenderal Feisal Tanjung (Panglima TNI saat itu), karier Agus Wijoyo terselamatkan, dengan ditarik ke Mabes TNI, sebagai Asrenum (Asisten Perancanaan Umum), dengan begitu pangkat Agus juga ikut naik menjadi bintang dua. Secara kebetulan, tiga nama ini (Feisal Tanjung, Agus Wijoyo, dan SBY), sama-sama pernah menjadi Komandan Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad pada waktu yang berbeda.
SBY seolah “termakan” gaya romantismenya sendiri, saat masih berkuasa dulu. Ketika memilih Moeldoko sebagai KSAD, salah satu pertimbangannya adalah status Moeldoko sebagai lulusan terbaik Akmil, demikian juga dengan KSAL (Marsetio) dan KSAU (Ida Bagus Putu Dunia).
Dalam menentukan posisi strategis di TNI, SBY selalu menjadikan dirinya sebagai bench mark, sebagai lulusan terbaik Akmil. Dengan kata lain, ketika seorang presiden menentukan posisi Panglima TNI, kepala staf angkatan, termasuk Kapolri, pertimbangannya menjadi sangat personal. Portofolio kandidat sudah dianggap selesai. Ketika jari SBY menuliskan nama Moeldoko untuk posisi KSAD, itu sudah menjadi menjadi hak subyektf (prerogatif) SBY).
Dalam memutuskan nama, SBY lebih mendengarkan suara hatinya. Sebab bisa saja SBY menorehkan nama lain, semisal Lodewikj F Paulus, teman sekelas Moeldoko di Akmil, yang lama bertugas di Kopassus. Lodewijk saat itu juga disebut-sebut sebagai calon KSAD, bersaing dengan Moeldoko, bila kemudian yang dipilih oleh SBY adalah Moeldoko, mungkin itulah yang disebut takdir.
Sekadar analisis parsial bisa diajukan di sini, Kopassus dan Brigif Linud 17 secara tradisional selalu bersaing (dalam arti positif) sejak lama, meskipun kantornya sama-sama di Cijantung (Jaktim), sehingga SBY akhirnya seperti dituntun untuk menulis nama Moeldoko dalam surat keputusan.
Tulisan akan saya tutup dengan bacaan singkat saya, bagaimana mungkin Moeldoko begitu bernyali menghadapi senior yang sangat berjasa terhadap dirinya. Saya menduga, dugaan yang sangat spekulatif, ada patron lain yang memberi inspirasi pada Moeldoko. Figur dimaksud adalah Hendropriyono, patronnya lamanya saat masih di Kodam Jaya dulu.
Dugaan saya berdasar konfigurasi politik mutakhir, bahwa Hendro dan Moeldoko, kini telah bersama ring satu Istana. Dalam bahasa yang lebih gampang, dari Hendro kembali ke Hendro, dan anggap saja Moeldoko sedang menjalani fase magang menjadi “king maker”.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.