Oleh: Mustakim
Ketua Fraksi Partai Demokrat, Edhie Baskoro Yudhoyono, melayangkan kritik pedas pada Presiden Joko Widodo. Ia menyebut kondisi ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jauh lebih baik dibandingkan dengan saat ini.
Anak mantan presiden SBY yang selama ini dikenal ‘anteng’ ini menyebut, pada era SBY, ekonomi Indonesia meroket dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat.
Selain itu, utang dan defisit pun terjaga. Ibas juga mengklaim, di era ayahnya, pendapatan rakyat meningkat sementara tingkat kemiskinan dan pengangguran bisa ditekan.
Baca Juga: Soal Kritikan Ibas untuk Ekonomi Era Jokowi, Demokrat: Kritikannya Bersifat Membangun
Kritik senada dilontarkan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Ia menilai, kinerja pemerintahan Jokowi lamban dan salah resep dalam menangani pandemi.
Pasalnya, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II minus sebesar 5,32 persen. Angka ini jauh lebih buruk dari ekspektasi pemerintah yang memprediksi hanya minus 4,3-4,8 persen. Fadli menilai, pemerintah gagal menetapkan prioritas kebijakan dalam menangani pandemi.
Ekonomi di Tengah Jepitan Pandemi
Kritik Ibas dan Fadli Zon bukan tanpa alasan. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilisnya menyatakan, ekonomi RI pada kuartal II-2020 minus 5,32 persen.
BPS mencatat, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang minus 5,32 persen ini paling rendah sejak krisis 1999. Angka ini memperparah kondisi ekonomi kita. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 hanya mencapai 2,97 persen. Angka itu jauh dari target kuartal I yang diharapkan mencapai kisaran 4,5-4,6 persen.
Pemerintah menyebut, pertumbuhan ekonomi di kuartal I jauh dari harapan karena terdampak berbagai kebijakan terkait penanganan virus corona, khususnya work from home dan physical distancing. Sementara, pertumbuhan ekonomi di kuartal II lebih buruk dari kuartal I karena dampak kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Baca Juga: Ibas Komentari Kondisi Ekonomi Indonesia, PDI-P: Tidak Tepat Membandingkannya saat Pandemi!
Apa pun dalih pemerintah, kondisi ini sangat memprihatinkan. Pasalnya, meski menghadapi pandemi, pemerintah memiliki ruang yang besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dengan berbagai skema dan regulasi.
Dalam regulasi terkait penanganan pandemi, pemerintah memiliki kewenangan besar untuk mengelola keuangan negara selonggar-longgarnya tanpa potensi pidana. Pemerintah juga sudah menggelontorkan dana besar untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Jurang Resesi
Pemerintah sudah berikhtiar membangkitkan perekonomian nasional dan menjauhkan Indonesia dari jurang resesi. Langkah-langkah yang dilakukan di antaranya pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), memberikan bantuan sosial kepada masyarakat baik tunai maupun nontunai, hingga menggelontorkan dana besar untuk program PEN.
Anggaran PEN yang diniatkan guna memulihkan ekonomi nasional mencapai Rp695 triliun. Namun, berbagai upaya tersebut belum menunjukkan hasil.
Buktinya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II jauh lebih buruk dari prediksi. Kondisi tersebut diprediksi akan berlanjut hingga kuartal III. Sementara, hingga saat ini masyarakat diprediksi masih menahan konsumsi akibat efek pandemi.
Baca Juga: Jokowi Marah Lagi ke Menterinya Soal Anggaran, Tanda Reshuffle?
Konsumsi juga menurun karena lonjakan PHK karyawan yang masih terus terjadi. Kebijakan ‘berdamai dengan pandemi’ atau new normal yang diharapkan bisa memulihkan perekonomian hasilnya juga belum kelihatan.
Berbagai kondisi ini disebut karena sejak awal pemerintah keliru menetapkan prioritas. Seharusnya saat pertama kali virus corona terkonfirmasi ada di Indonesia, pemerintah segera melakukan berbagai tindakan guna mencegah penyebarannya seperti karantina wilayah.
Namun, dengan dalih ekonomi pemerintah tak mau menerapkan kebijakan tersebut. Padahal perekonomian mustahil tumbuh jika negara gagal mengatasi pandemi.
Di sisi lain, angka kasus Covid-19 masih relatif tinggi. Sejumlah daerah yang sebelumnya sempat dinyatakan ‘aman’ angka kasusnya kembali naik signifikan.
Melihat kondisi ini, pemerintah harus tegas dalam menentukan prioritas, menyelesaikan pandemi atau membenahi ekonomi. Pemerintah tak bisa menyelamatkan keduanya bersamaan. Harus ada yang diprioritaskan. Pemerintah fokus dulu menangani pandemi. Setelah itu, baru membenahi ekonomi.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Minus, Stafsus Menkeu: Dorong di Kuartal III
Mendongkrak Daya Beli
Lambannya penyerapan anggaran dan penyaluran bantuan untuk masyarakat disebut sebagai penyebab tingkat kontraksi ekonomi Indonesia lebih buruk dari prediksi. Karena bantuan untuk masyarakat, terutama dalam bentuk tunai, bisa memberi dorongan signifikan bagi perekonomian.
Menurut sejumlah ekonom, porsi konsumsi rumah tangga berkontribusi cukup besar pada pertumbuhan ekonomi nasional terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Kinerja ekonomi banyak ditentukan dari konsumsi rumah tangga atau daya beli masyarakat. Penguatan konsumsi rumah tangga dalam masa pandemi Covid-19 dinilai dapat membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Untuk itu, pemerintah perlu menambah anggaran untuk memperkuat daya beli masyarakat.
Baca Juga: Tentang Resesi, Teknikal Resesi dan Tugas Pemerintah
Pemerintah harus menjaga daya beli masyarakat agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tidak terjun bebas lagi. Daya beli masyarakat harus menjadi prioritas utama agar ekonomi Indonesia tidak semakin terpuruk.
Selain itu, pemerintah juga harus kreatif memanfaatkan sejumlah peluang guna meningkatkan perekonomian. Sejumlah sektor seperti kesehatan dan komunikasi bisa didongkrak guna memaksimalkan upaya pemerintah memperbaiki perekonomian nasional. Pasalnya di masa pandemi ini, kesehatan dan komunikasi menjadi dua hal yang paling dibutuhkan dan dicari.
#Covid19 #Corona #Jokowi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.