Daryono menjelaskan bahwa meskipun berjarak jauh dari episentrum, Bangkok merasakan dampak gempa karena efek vibrasi periode panjang atau long vibration period.
Efek ini terjadi ketika gelombang gempa merambat melalui tanah lunak, yang memperkuat getaran dan berpotensi merusak bangunan tinggi.
Endapan sedimen tanah lunak tebal di Bangkok kemudian dapat merespons gempa dari jauh hingga membentuk resonansi yang mengancam gedung-gedung tinggi.
"Contoh pada tahun 1985, terjadi gempa dahsyat di zona subduksi Cocos berkekuatan M 8,1 yang berpusat di pantai Michoacan, Meksiko,” ujarnya.
"Meskipun jarak episentrum gempa ke kota Meksiko adalah 350 km, kerusakan hebat terjadi di Mexico City, sebagian besar dari 9.500 korban jiwa meninggal terjadi di Mexico City yang dibangun di kawasan rawa purba yang direklamasi," paparnya.
Selain itu, efek direktivitas juga menjadi faktor penyebab getaran kuat di Bangkok. Efek ini terjadi ketika energi gempa terfokus dalam satu arah, sehingga getarannya lebih terasa di wilayah tertentu.
Daryono memastikan bahwa gempa di Myanmar dan Thailand tidak mempengaruhi aktivitas kegempaan di Indonesia.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan sumber gempa serta jarak yang sangat jauh dari wilayah Indonesia.
“Medan tegangan gempa tersebut hasil akumulasi dari segmen sesar Sagaing sendiri,” imbuh Daryono.
“Gempa tidak saling picu dan tidak ada rambatan kecuali gempa susulan yang sangat terkait sesar yang aktif tersebut,” tambahnya.
Baca Juga: Detik-Detik Gedung di Bangkok Runtuh Usai Diguncang Gempa Magnitudo 7,7
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV/Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.