WASHINGTON. KOMPAS.TV - Pejabat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengamuk dan 'menyerang' jurnalis setelah terjadinya kebocoran pesan terkait rencana serangan AS ke Yaman di aplikasi pesan Signal.
Gedung Putih bereaksi dengan kemarahan pada Rabu (26/3/2025), setelah majalan The Atlantic memublikasikan pesan antara pejabat keamanan nasional AS di grup chat Signal.
Jeffrey Goldberg, jurnalis yang secara tak sengaja masuk ke dalam grup chat pemimpin kabinet senior AS, membagikan teks yang berisi informasi sensitif yang diberikan oleh Menteri Pertahanan Pete Hegseth.
Baca Juga: Menhan AS Bantah Rencana Serang Yaman Bocor di Grup Chat, Tuduh Jurnalis Sebar Hoaks
Informasi tersebut mencakup jadwal terperinci dan informasi detail tentang unit serangan, yang dibagikan dua jam sebelum rencana serangan AS ke Yaman dilancarkan.
Goldberg mengatakan ia memutuskan menerbitkan informasi tersebut setelah pemerintahan Trump menuduhnya berbohong bahwa informasi rahasia telah dibagikan.
Pada artikel yang dipublikasikan Rabu, Goldberg mengatakan ia memutuskan memublikasikan pesan yang membicarakan rencana penyerangan Yaman, sehingga warga Amerika bisa mencapai kesimpulannya sendiri.
“Ada ketertarikan publik yang jelas dalam membuka informasi yang disertakan penasihat Trump di saluran komunikasi yang tak aman, terutama karena tokoh-tokoh senior pemerintahan berusaha meremehkan pentingnya pesan yang dibagikan,” tulis Golberg, dikutip dari BBC International.
Sementara itu, Sekretaris Pers Gedung Putihh Karoline Leavitt 'menyerang' Goldberg secara langsung.
Ia menuduh Goldberg sebagai pembenci anti-Trump, seorang propagandis di media, yang menyebarkan hoaks tentang aplikasi pesan Signal.
“Cerita sebenarnya di sini adalah kesuksesan luar biasa dari tindakan militer yang tegas terhadap teroris Houthi,” ucap Leavitt.
Namun, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang berpartisipasi dalam grup pesan tersebut, mengatakan bahwa insiden itu adalah kesalahan.
“Jelas, seseorang membuat kesalahan. Kesalahan besar, dan menambahkan jurnalis (ke dalam grup pesan itu),” katanya.
Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbar mengatakan pada Komite Intelijen DPR bahwa tinjauan yang dalam akan dilakukan Majelis Keamanan Nasional untuk mencari tahu bagaimana jurnalis itu bisa ditambahkan ke grup.
Namun, Presiden Trump malah terkesan santai dengan insiden tersebut. Ia mengatakan bahwa itu bukanlah hal besar.
Sementara itu, Penasihat Kemanan Nasional AS Mike Waltz, yang membentuk grup itu, pada Selasa (25/3/2025) malam, mengatakan mengambil tanggung jawab penuh.
Sementara itu, Demokrat menyerukan agar Hegseth segera mengundurkan diri, mengatakan informasi yang dibagikan secara tak sengaja kepada seorang jurnalis dapat membahayakan nyawa prajurit Amerika jika diperoleh oleh musuh AS.
Hegseth pun melanjutkan membela dirinya atas insiden tersebut.
“Mereka tahu itu bukan rencana perang. Tak ada unit, tak ada lokasi, tak ada rute, tak ada rencana penerbangan, tak ada sumber, tak ada metode, dan tak ada informasi rahasia,” katanya.
Hegseth menambahkan bahwa tugasnya memberikan pembaruan di waktu sebenarnya.
Baca Juga: Ukraina dan Rusia Teken Perjanjian Gencatan Senjata Laut Hitam, Zelenskyy: Langkah Awal Perdamaian
Namun, sejumlah ahli militer dan komunitas intelijen mengatakan bahwa informasi itu sangat sensitif, dan seharusnya tak dibagikan di aplikasi pesan komersil.
“Rencana perang secara umum merupakan rencana untuk melakukan konflik keseluruhan,” kata eks Deputi Asisten Menteri Pertahanan untuk Timur Tengah dan pensiunan petugas paramiliter CIA, Mick Mulroy.
“Rencana penyerangan dimulai dari sana, dan menurun ke unit level individual,” tambahnya.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : BBC Internasional
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.