SEOUL, KOMPAS.TV - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berulang kali menyebut Korea Utara sebagai negara kekuatan nuklir.
Namun, menurut pakar AS, itu diyakini sebagai upaya Trump menyeret pemimpin Korut Kim Jong-un ke meja negosiasi.
Trump mengungkapkan bahwa Korut merupakan sebuah negara kekuatan nuklir saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte di Gedung Putih, Kamis (13/3/2025).
Baca Juga: China Bela Iran, Ingin Agar Ancaman dan Sanksi ke Negara Sekutunya Itu Dihentikan
Ia juga mengungkapkan bahwa Korut memiliki banyak senjata nuklir.
Dikutip dari Chosun Biz, Trump mengungkapkan berencana membangun kembali hubungan dengan Kim Jong-un.
“Saya memiliki hubungan bagi dengan Kim. Saya akan lihat apa yang terjadi,” ucapnya.
“Jelas, ia (Kim Jong-un) adalah sebuah kekuatan nuklir,” kata Presiden AS tersebut.
Victor Cha, Kepala Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), mencatat bahwa Trump tampaknya berharap prospek negoasiasi AS-Korut berikutnya akan lebih berfokus pada pengurangan ancaman daripada denuklirisasi.
Padahal, Trump sempat menyatakan keinginannya untuk denuklirisasi menyeluruh di Korea Utara.
“Ia (Trump) mencoba menyeret Korut ke negoasiasi, benar? Dan salah satu caranya adalah dengan mengumbar gagasan bahwa negosiasinya dengan Korut tak akan membahas denuklirisasi, (bahwa) negara itu akan membahas tentang pengurangan ancaman,” katanya dikutip dari The Korea Times.
Pelabelan Trump terhadap Korut sebagai negara kekuatan nuklir telah memicu serangkaian spekulasi mengenai apakah ia menggunakan istilah tersebut, atau tidak mengetahui apa yang tersirat di dalamnya.
Atau juga hanya menggarisbawahi realitas program nuklir Korut yang saat ini terus berkembang.
Hal itu menambah spekulasi penjajaran terbaru Trump terhadap Korut di samping India dan Pakistan, dua negara bekekuatan nuklir de facto.
Langkah tersebut dinilai dapat memberi sinyal Pyongyang juga dapat memperoleh status nuklir kedua negara tersebut daripada terus-menerus dicerca secara global karena persenjataan nuklirnya.
Menurut Cha, pernyataan Trump tentang Korut merupakan langkah disengaja, bukan sesuatu yang muncul karena ketidaktahuan.
“Apakah kita berkeliling mengatakan bahwa tujuan kita dengan India adalah denuklirisasi? Tidak. Bahkan dengan Pakistan, apakah kita berkeliling mengatakan bahwa tujuan kita adalah denuklirisasi? Kita tidak mengatakan itu. Jadi itulah mengapa saya pikir dia mulai mengelompokkan mereka bersama-sama,” ucapnya.
“Jadi, bukan Trump yang bodoh. Sebenarnya Trump cukup pintar. Saya pikir dia punya rencana,” kata Cha.
Cha mencatat pengakuan AS terhadap status nuklir merupakan tujuan langka yang sangat diinginkan Korut dari AS.
Sebab, Korut saat ini bergantung pada Moskow untuk makanan, bahan bakar, bantuan keamanan dan bantuan lainnya.
Baca Juga: Tentara Korea Utara Baku Tembak dengan Komplotan Sendiri, karena Kekacauan Komunikasi
Sementara itu, kebutuhan untuk keringanan sanksi telah hilang karena Rusia dan China tidak mematuhi sanksi dengan setia.
“Satu hal yang menurut saya tak dimiliki Korut, yang diinginkannya dari AS, yang cukup penting adalah pengakuan de facto sebagai negara bersenjata nuklir,” tuturnya.
Ia juga melihat bahwa Trump tampaknya tak terpaku pada denuklirisasi Korut, karena ia mengutamakan prioritas yang lebih mendesak, yaitu perang di Ukraina.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : The Korea Times/Chosun Biz
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.