PARIS, KOMPAS.TV - Intelijen Prancis membuat klaim mengejutkan bahwa Persaudaraan Muslim atau Ikhwanul Muslimin berupaya jadikan Prancis negara kekhalifahan.
Kepala Direktorat Nasional Intelijen Teritorial untuk Kementerian Dalam Negeri Bertrand Chamoulaud mengungkapkan klaim tersebut.
Saat diwawancara oleh Le Monde pekan ini, Chamoulaud mengatakan Ikhwanul Muslimin memiliki tujuan menjadikan Prancis dipimpin kekhalifahan dengan Hukum Syariah.
Ikhwanul Muslimin merupakan gerakan transnasional Sunni yang dibentuk pada 1928 di Mesir, yang saat ini tidak punya kekuatan. Bahkan setelah salah satu pentolannya, Ezzat ditangkap pada 2021 oleh otoritas Mesir.
Baca Juga: India Berduka, Eks PM Manmohan Singh Meninggal Dunia, Sosok Penting Reformasi Ekonomi Liberal
Dikutip dari RT, Chamoulaud mengungkapkan lebih dari 100.000 umat Muslim menghadiri masjid yang dikelola Ikhwanul Muslimin.
Ia mengungkapkan jaringan gerakan Muslim dari Mesir itu menyebarkan pahamnya melalui wacana yang sangat halus daripada menggunakan kekerasan.
Menurut Chamoulaud gerakan tersebut secara efektif menggunakan ketegangan sosial secara bertahap menyusup ke perusahaan sosial dan organisasi masyarakat sipil.
“Ini sangat mengkhawatirkan kami, karena inflitrasi mereka berdampak di semua sektor. Olahraga, kesehatan, pendidikan dan sebagainya,” ujar Chamoulaud.
Menurutnya salah satu alat strategi Ikhwanul Muslimin adalah berperan sebagai korban.
Ia menjelaskan bahwa setiap kali masjid ditutup atau imam separatis diusir, kaum Islamis mengecam apa yang disebut sebagai negara Islamofobia.
Menurutnya, hal itu membuat sejumlah muslim moderat jadi meyakini wacana korban yang dilakukan Ikhwanul Muslimin.
Baca Juga: Mayotte Prancis Diterjang Badai Terburuk dalam Seabad, Ribuan Orang Diduga Tewas
Tudingan kaitan Ikhwanul Muslimin di Prancis juga pernah dirasakan pesebakbola Karim Benzema. Hanya gara-gara mendukung Palestina, Karim dituding terlibat dalam organisasi yang berdiri di Mesir ini.
Tak terima, Karim pun melayangkan gugatan kepada Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, pada Selasa 16 Januari 2024 silam.
Tudingan Darmanin ini menyusul cuitan Benzema pada Oktober 2023, yang menyuarakan dukungan moral kepada warga Palestina di Gaza yang menjadi korban serangan darat dan udara militer Israel.
Benzema menegaskan dia tidak punya kaitan dengan Ikhwanul Muslimin. "Tidak punya keterkaitan apa pun dengan organisasi Ikhwanul Muslimin," katanya. Bahkan sebagian publik Prancis yang bersimpati pada pesebakbola itu, mengecam tudingan itu.
Sayap Kanan
Di Prancis dan beberapa negara Eropa, memang tengah mengalami peningkatan gerakan sayap kanan. Meskipun dalam pemilu Juli lalu Partai sayap kanan kalah.
Namun seusai pemilu parlemen Eropa, 9 Juni 2024, seantero benua dicekam rasa waswas akan bangkitnya gelombang sayap kanan. Kala itu, tak hanya di Perancis, partai sayap kanan menang di Austria dan Italia. Di Belanda dan Jerman, partai-partai kanan menempati urutan kedua.
Hal ini menimbulkan permasalahan terutama kelompok imigran, sebagian dari negara-negara muslim. Misalnya. para atlet perempuan Prancis dilarang menggunakan penutup kepala saat bertanding di Olimpiade.
Amnesty Internasional bahkan mengatakan pelarangan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia.
Mereka mewakili penggunaan hukum Islam di setiap aspek masyarakat, dan sejumlah negara melabeli mereka sebagai organisasi teroris.
Baca Juga: Pemerintahan Prancis Kolaps, Macron Didesak Lengser dari Kursi Presiden
Kaum Muslim di Prancis sendiri diperkirakan mendekati 7 juta jiwa, atau sekitar 10 persen dari populasi Prancis berdasarkan badan statistik negara tersebut.
Kebanyakan penganutnya adalah imigran yang berasal dari negara-negara Afrika Utara.
Islam pun menjadi agama terbesar kedua di Prancis, setelah Katolik.
Sumber : RT
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.