Kisah “Baby 81” menarik perhatian dunia. Abilash bersama keluarganya bahkan diundang ke Amerika Serikat untuk wawancara. Namun, popularitas itu membawa dampak negatif.
Keluarga Jayarasa dianggap telah menerima bantuan besar dari luar negeri, sehingga mereka dikecualikan dari berbagai program rekonstruksi tsunami di Sri Lanka.
Situasi ini memaksa mereka pindah karena kecemburuan sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.
Bagi Abilash, julukan “Baby 81” juga menjadi beban tersendiri. Ia sering diejek teman-temannya dan merasa malu setiap kali peringatan tsunami tiba.
“Saya dulu berpikir, ‘Mereka datang lagi,’ dan langsung lari bersembunyi,” ujarnya. Namun, seiring bertambahnya usia, ia mulai menerima kisahnya.
“Sekarang saya menganggap itu sebagai kode unik saya. Jika seseorang ingin menemukan saya, gunakan saja kode itu,” katanya sembari bercanda.
Untuk mengenang para korban tsunami, keluarga Jayarasa membangun sebuah monumen kecil di halaman rumah mereka.
Monumen itu menampilkan empat tangan yang saling menggenggam, melambangkan harapan dan rasa syukur.
Murugupillai berharap anaknya terus mengenang peristiwa itu sebagai bagian dari kehidupannya dan menjadi inspirasi untuk terus membantu orang lain.
Kini, di tengah perjuangannya menyelesaikan ujian akhir sekolah, Abilash berharap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas.
Baca Juga: Perayaan Natal di Gaza: Tak Ada Sinterklas, Tak Ada Hadiah, Hanya Bom
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.