GAZA, KOMPAS.TV – Natal tahun ini kembali dirayakan dalam suasana duka di Gaza. Di tengah bayang-bayang perang yang telah berlangsung selama 14 bulan, komunitas Kristen yang tersisa memilih bertahan dengan doa dan harapan akan perdamaian.
Di Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius, seorang ayah berusia 47 tahun mengenang peristiwa tragis yang merenggut tiga anaknya dalam serangan udara Israel pada Oktober 2023.
"Kami percaya gereja adalah tempat yang aman, tetapi ternyata tidak. Saya kehilangan tiga anak yang selalu berdoa bersama saya," ujarnya dikutip dari The National, Selasa (24/12/2024).
Kehilangan serupa juga dialami Ihab Ayad, salah satu dari ratusan orang yang berlindung di gereja tersebut saat serangan terjadi.
“Kami semua kehilangan, baik Muslim maupun Kristen. Semua orang di Gaza menghadapi kematian, kehancuran, dan kehilangan,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Duka juga dialami Ibrahim Jahshan yang tinggal bersama istri dan anak-anaknya di gereja Ortodoks sementara saudara laki-lakinya dan keluarganya berlindung di gereja Katolik.
Ia kehilangan ibunya yang berusia 77 tahun karena kurangnya pengobatan untuk mengatasi stroke.
“Dunia telah melupakan Gaza. Kami masih diserang. Anak-anak tidak akan berpesta, tidak ada Sinterklas, tidak ada hadiah, hanya bom,” katanya.
Baca Juga: Utusan Vatikan Pimpin Misa di Gaza Jelang Natal: Perang Akan Usai dan Kita Akan Membangun Kembali
“Saya katakan kepada orang-orang, jangan lupakan kami dalam doa-doa Anda, doakanlah agar kami tetap hidup. Hidup ini sangat sulit. Anak-anak saya menginginkan pakaian untuk Natal, tetapi tidak ada uang. Bagaimana kami bisa membeli apa pun?”
Di tengah duka yang mendalam, sekitar 600 umat Kristen yang berlindung di dua gereja di Gaza tetap mencoba merayakan Natal, meskipun dalam kesederhanaan.
Di Gereja Keluarga Kudus, aktivitas kecil untuk anak-anak digelar guna memberikan sedikit pelipur lara.
“Kami ingin Natal ini menjadi Natal penuh harapan,” kata Pastor Carlos Ferrero di Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya paroki Katolik Roma di Gaza.
Namun, keterbatasan membuat perayaan itu jauh dari semarak. Bantuan makanan dan obat-obatan yang dikirim oleh Patriarkat Latin Yerusalem tertahan di pos pemeriksaan Israel.
"Kami hanya menerima tepung, kacang, dan kertas toilet. Bahkan obat-obatan untuk anak-anak tidak sampai," ujar Pastor Ferrero.
Di tengah penderitaan, dukungan moril datang dari Vatikan. Setiap malam, Paus Fransiskus menghubungi Gereja Keluarga Kudus untuk memberikan doa dan penghiburan.
Suaranya yang dipancarkan melalui pengeras suara menjadi sumber kekuatan bagi umat yang berlindung di sana.
Baca Juga: Kekerasan Israel di Gaza Berlangsung Intens, PBB Ungkap Pengiriman Bantuan Hampir Mustahil
“Bayangkan Paus menelepon setiap hari dan bertanya, 'Apa kabar?'” kata Pastor Ferrero.
“Paus Fransiskus menelepon setiap malam, kecuali saat ia sedang bepergian. Ia meminta kita untuk tetap kuat dan memberi kita berkat.”
"Paus meminta kita untuk beriman, mengatakan seluruh gereja berdoa untuk perdamaian. Ia selalu menyemangati kita,” ungkapnya.
Sementara itu, di Bethlehem, Gereja Lutheran merayakan Natal dengan simbolisme yang menyentuh.
Sebuah adegan kelahiran Yesus di tengah reruntuhan dipajang untuk menggambarkan penderitaan Gaza.
Bayi Yesus yang dibungkus keffiyeh, syal khas Palestina, menjadi simbol harapan di tengah kehancuran.
“Masyarakat kami masih menghadapi genosida di Gaza, jadi kami akan fokus pada doa sebagai makna Natal yang sebenarnya,” kata Rev Munther Isaac, pastor Gereja Lutheran di Bethlehem.
“Kami mengirimkan pesan harapan kepada masyarakat kami karena kami percaya ketahanan dan harapan berjalan beriringan," ucapnya.
Baca Juga: Bethlehem Bersiap Rayakan Natal, Kirim Doa dan Harapan Perdamaian di Palestina
Sumber : The National
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.