LONDON, KOMPAS TV – Di tengah serangan brutal Israel yang semakin intensif di Timur Tengah, negara-negara Eropa tetap memasok senjata ke Tel Aviv, meskipun ada tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi di Gaza.
Tekanan pada sekutu-sekutu Israel untuk menghentikan pasokan senjata semakin meningkat setelah serangan terbaru oleh tentara Israel terhadap markas Pasukan PBB di Lebanon (UNIFIL) dan beberapa posisi penting pasukan perdamaian di wilayah selatan negara itu, yang mengakibatkan sejumlah personel terluka.
Amnesty International menyampaikan kekhawatirannya terkait penjualan senjata Eropa kepada Israel di tengah serangan mereka ke Gaza dan Lebanon.
Amnesty International menyerukan embargo senjata total karena adanya "pelanggaran berat hak asasi manusia."
"Negara-negara harus memberlakukan embargo senjata secara sepihak terhadap Israel, yang mencakup tidak hanya senjata dan sistem senjata dari negara mereka, tetapi juga menghentikan partisipasi dalam rantai pasokan yang akhirnya berujung pada Israel," ujar Patrick Wilcken, penasihat kebijakan kontrol senjata Amnesty International dan peneliti hak asasi manusia, dikutip dari Anadolu, Senin (21/10/2024).
Negara-negara Eropa adalah bagian dari Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty) 2013, yang melarang mereka mengizinkan pengiriman senjata yang dapat digunakan dalam serangan terhadap warga sipil.
Wilcken menekankan pentingnya mematuhi kewajiban hukum internasional, termasuk Perjanjian Perdagangan Senjata, untuk mencegah pengiriman senjata ke zona konflik dan menjaga prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Amerika Serikat merupakan pemasok senjata terbesar bagi Israel, dengan kontribusi sebesar 69% dari total impor senjata konvensional utama Israel antara 2019 hingga 2023, menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).
Baca Juga: Netanyahu Ngamuk ke Macron, Sebut Seruan Embargo Senjata ke Israel Memalukan
Jerman adalah pemasok senjata terbesar di Eropa untuk Israel, memberikan sekitar 30% dari total impor senjata Israel pada periode yang sama. SIPRI melaporkan bahwa pada 2023, pengiriman senjata dari Jerman ke Israel meningkat menjadi €326,5 juta (sekitar Rp5,5 triliun), terutama setelah serangan pada 7 Oktober.
Italia juga tercatat menjual senjata senilai €2,1 juta (sekitar Rp35,5 miliar) kepada Israel pada kuartal terakhir 2023. Sementara itu, sejak 2015, Inggris telah memasok senjata senilai lebih dari $576 juta (sekitar Rp9 triliun) melalui lisensi ekspor senjata.
Pada awal Oktober, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan penghentian pengiriman senjata ke Israel. Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez, juga mendesak masyarakat internasional pekan lalu untuk menghentikan pengiriman senjata, sekaligus mengutuk serangan Israel terhadap pasukan PBB.
Di Denmark, otoritas sedang menghadapi gugatan hukum yang dapat memaksa pemerintah untuk menghentikan ekspor suku cadang jet tempur F-35 ke Amerika Serikat, karena Washington menjual pesawat tersebut kepada Israel.
Dengan meningkatnya tekanan, pemerintah-pemerintah Barat berada di bawah desakan untuk menghentikan penjualan jet tempur mematikan F-35, yang digunakan oleh pasukan Israel dalam ofensif brutal mereka di Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 42.600 warga Palestina, kebanyakan wanita dan anak-anak, dan melukai lebih dari 100.000 orang.
Ketika jet-jet tempur Israel menyerang Gaza, lebih dari 95% korban yang tewas atau terluka adalah warga sipil, berdasarkan laporan yang menunjukkan bahwa tren ini terus berlanjut sejak 7 Oktober tahun lalu.
Banyak negara Eropa yang terlibat dalam program F-35, yang menimbulkan pertanyaan tentang legalitas dan transparansi rantai pasokan internasional untuk pesawat tempur Israel yang bertanggung jawab atas serangan di Gaza dan Lebanon.
Baca Juga: Capres AS Kamala Harris Tegaskan Tidak Akan Ada Embargo Senjata untuk Israel
"Di seluruh Eropa, ada banyak perlawanan dan litigasi terkait F-35, dan ini adalah contoh klasik dari rantai pasokan yang kompleks dan pengumpulan suku cadang," ujar Wilcken.
"Negara-negara bertanggung jawab untuk mengecualikan diri dari rantai pasokan ini melalui uji tuntas. Mereka harus memastikan bahwa suku cadang dan komponen tersebut tidak masuk ke sistem senjata yang akhirnya berakhir di Israel."
Menurutnya, semua suku cadang dapat dilacak, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi negara-negara mana saja yang terlibat dalam program F-35 dan peran mereka dalam perang di Gaza.
"Kami telah melihat di banyak negara, termasuk baru-baru ini di Inggris, bahwa negara-negara sangat berhati-hati dalam hal ini, dan saya pikir ada alasan politik yang jelas, karena pentingnya proyek F-35 untuk aliansi negara-negara dengan Amerika Serikat," kata Wilcken.
Israel adalah salah satu eksportir senjata utama di dunia, tetapi militernya sangat bergantung pada F-35 di Gaza untuk melancarkan salah satu kampanye udara paling intens dan destruktif dalam sejarah modern, menurut para ahli.
Wilcken juga mencatat bahwa kurangnya transparansi mengenai tujuan akhir senjata dan suku cadang sangat memprihatinkan.
Dia menekankan bahwa negara-negara harus berhenti menggunakan alasan keamanan nasional sebagai dalih untuk tidak mempublikasikan rincian perdagangan senjata "ilegal dan rahasia."
Meskipun ada tekanan besar dari masyarakat sipil dan penggugat hukum untuk menghentikan pengiriman senjata ke Israel, pertimbangan geopolitik dan aliansi, terutama antara Eropa dan AS, membuat negara-negara sulit untuk melepaskan diri dari perdagangan ini, tambah Wilcken.
Baca Juga: Menteri Spanyol Ajak Eropa Embargo Israel dan Pidanakan Netanyahu: Mari Hentikan Genosida
"Negara-negara kaya dan stabil seperti yang ada di Eropa Barat harus serius menjalankan kewajiban mereka dan menghentikan semua transfer senjata ke Israel," ujarnya.
Ian Overton, direktur eksekutif Action on Armed Violence, sebuah lembaga amal penelitian konflik yang berbasis di London, mengatakan bahwa seluruh industri senjata "dipenuhi dengan kerahasiaan dan kurangnya transparansi."
Overton menjelaskan pemerintah Inggris belum melarang pengiriman suku cadang untuk jet tempur F-35, meskipun pesawat ini sebagian dikembangkan untuk militer Israel, "Kita tidak tahu kapan dan bagaimana suku cadang tersebut mungkin kemudian diintegrasikan ke dalam sistem senjata lain, dan kemudian dijual ke Israel," katanya.
Spanyol, Belgia, Belanda, Italia, dan Inggris telah mengumumkan penghentian penjualan senjata ke Israel, namun Overton percaya bahwa beberapa negara ini tetap mengekspor senjata secara terselubung.
Meski undang-undang Norwegia melarang penjualan senjata ke negara-negara yang sedang berperang, laporan media lokal menunjukkan bahwa Israel tetap membeli senjata yang diproduksi oleh anak perusahaan AS dari perusahaan pertahanan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Norwegia.
Overton mengkritik Inggris karena terus memasok senjata ke Israel, sementara pada saat yang sama mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
"Bagaimana mungkin Anda mendukung negara secara militer dengan mengirimkan senjata, dan pada saat yang sama harus membersihkan dampak dari kerusakan yang ditimbulkan negara tersebut melalui intervensi kemanusiaan yang mahal di negara yang mereka bom. Ini jelas terlihat sebagai bentuk kemunafikan," ujar Overton.
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.