TEL AVIV, KOMPAS.TV - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden bahwa serangan balasan Israel terhadap Iran atas serangan misil balistik yang dilancarkan Iran tidak akan menyasar situs non-militer.
Keputusan ini disebut-sebut sebagai langkah untuk menghindari eskalasi yang dapat berdampak lebih luas, termasuk memengaruhi situasi politik di AS menjelang pemilu presiden.
Laporan yang diterbitkan oleh The Washington Post pada Senin (14/10/2024), mengutip dua pejabat yang mengetahui diskusi tersebut, mengungkapkan bahwa Netanyahu telah memilih untuk membatasi serangan balasan Israel hanya pada target militer Iran.
Ini dilakukan di tengah ketegangan di Timur Tengah yang memuncak setelah Iran meluncurkan sekitar 200 misil balistik pada 1 Oktober sebagai balasan atas pembunuhan Hassan Nasrallah, pemimpin Hizbullah yang didukung Iran.
Washington telah berupaya meredam rencana balasan Israel, khawatir bahwa aksi tersebut dapat memicu konflik yang lebih besar dan melibatkan negara-negara lain di kawasan.
Dalam percakapan telepon pada 8 Oktober lalu, Netanyahu meyakinkan Biden bahwa serangan Israel akan difokuskan pada sasaran militer, bukan infrastruktur minyak atau fasilitas nuklir Iran, yang sebelumnya diperkirakan menjadi target.
Keputusan Netanyahu ini juga diduga dipengaruhi oleh kekhawatiran AS terkait dampak serangan terhadap pemilihan presiden yang akan digelar pada 5 November mendatang.
Baca Juga: Intelijen Iran Diklaim Melemah, Dianggap Gagal Hentikan Penyusupan Mata-Mata Israel
Menurut salah satu pejabat dalam laporan The Washington Post tersebut, serangan terhadap infrastruktur minyak Iran dapat menyebabkan lonjakan harga energi, yang dikhawatirkan bisa memengaruhi suasana hati pemilih di AS.
Kenaikan harga energi ini bisa merugikan popularitas calon presiden dari Partai Demokrat, Kamala Harris, dan memberikan keuntungan bagi calon dari Partai Republik, Donald Trump.
Selain itu, serangan terhadap fasilitas nuklir Iran dianggap berpotensi memperluas konflik, yang dapat memaksa AS untuk terlibat lebih jauh.
Kondisi ini juga menimbulkan kekhawatiran di negara-negara Teluk yang khawatir infrastruktur minyak mereka akan diserang oleh proksi Iran jika situasi di kawasan semakin memburuk.
Meski demikian, Israel menegaskan bahwa keputusan akhir tetap akan dibuat berdasarkan kebutuhan keamanan nasional negara itu.
"Kami mendengarkan pandangan pemerintah Amerika, tetapi keputusan akhir akan didasarkan pada kebutuhan keamanan Israel," ujar Kantor Perdana Menteri Israel dalam sebuah pernyataan dikutip dari Times of Israel.
Sikap yang lebih moderat dari Netanyahu ini dilaporkan telah meredakan kekhawatiran AS. Sebagai tanggapan, Presiden Biden menyetujui pengiriman sistem pertahanan udara canggih, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD), ke Israel.
Baca Juga: 2 Warga Israel Ditangkap atas Aksi Sabotase dan Ingin Bunuh Tokoh Zionis, Diklaim Bekerja untuk Iran
Pentagon mengonfirmasi pada Minggu (13/10) bahwa THAAD akan dikirimkan bersama dengan sekitar 100 personel militer AS yang akan mengoperasikan sistem tersebut, sebagai bagian dari upaya melindungi Israel dari serangan balasan Iran.
Israel sendiri belum menetapkan waktu pasti untuk serangan balasannya, namun laporan menyebutkan bahwa Netanyahu berencana meluncurkannya sebelum pemilihan presiden AS.
Seorang pejabat Israel menggambarkan tindakan tersebut sebagai “salah satu dari serangkaian respons.”
Netanyahu dijadwalkan memimpin pertemuan keamanan di markas besar militer Kirya, Tel Aviv, pada Senin malam untuk membahas rencana serangan balasan.
Meski demikian, sejumlah laporan menyebutkan bahwa dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, para menteri belum diminta untuk memberikan persetujuan atas rencana konkret terkait serangan tersebut.
Hubungan antara AS dan Israel dalam isu Iran tampaknya telah mengalami perbaikan setelah sempat merenggang.
Laporan Axios mengungkapkan bahwa percakapan antara Netanyahu dan Biden telah membantu menyatukan kembali koordinasi antara kedua negara, terutama terkait serangan Israel terhadap Hizbullah, yang sempat menimbulkan ketegangan antara kedua pemimpin.
Pembunuhan Nasrallah dalam serangan udara di Beirut pada 27 September lalu memicu rentetan serangan balasan dari Iran, dan Israel tampaknya masih terus mengkaji waktu yang tepat untuk membalas serangan tersebut tanpa memperburuk situasi regional.
Baca Juga: Tolak Permintaan Israel, Dewan Keamanan PBB Tegaskan Pasukan UNIFIL Tetap Berada di Posisi
Sumber : Times of Israel
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.