NEW YORK, KOMPAS.TV – Menteri Luar Negeri (Menlu) Rusia Sergey Lavrov mengatakan Ukraina semakin mengecil dan kehilangan wilayah setiap kali kesepakatan yang telah disetujui Moskow, digagalkan.
Hal itu diungkapkan Lavrov dalam konferensi pers setelah mengikuti pekan tingkat tinggi pada Sidang Umum PBB ke-79 di New York, Sabtu (28/9/2024) atau Minggu WIB.
"Setiap kali kesepakatan yang disetujui oleh Rusia digagalkan, Ukraina semakin mengecil," kata Lavrov, merujuk pada penolakan Ukraina untuk menerapkan Perjanjian Minsk serta gangguan Kiev terhadap negosiasi pada 2022.
Baca Juga: Uni Eropa Siap Hadapi Perang Ukraina Tanpa Amerika Serikat, Pinjaman Rp600 Triliun Sudah Disiapkan
Dia juga mengingat kembali bagaimana utusan Ukraina dalam pembicaraan dengan Rusia pada 2022 di Turki, David Arahamiya, menyebut bahwa Perdana Menteri Inggris saat itu, Boris Johnson, datang ke Kiev dan memerintahkan Ukraina merobek kesepakatan yang tinggal diresmikan dan memilih terus bertempur.
"Jika Ukraina terus mengikuti jalan ini, jika mereka kembali menggunakan taktik untuk mengulur waktu, mereka tidak akan berhasil," tegas Lavrov, dikutip dari TASS.
Menurut dia, Ukraina telah "menggagalkan selamanya" legitimasi mereka, setidaknya selama rezim saat ini masih berkuasa.
"Saya sangat berharap teman-teman kami dari China dan Brasil, serta semua yang tergabung dalam kelompok 'teman perdamaian', benar-benar memperhitungkan cara dan perilaku kepemimpinan Ukraina saat ini yang terus mencoba menipu semua orang dengan janji-janji yang terus berubah," kata Lavrov.
Baca Juga: Amendemen Doktrin Nuklir Rusia Segera Diformalkan, Ini Daftar Perubahannya
Rusia Sambut Baik Inisiatif Perdamaian, Termasuk dari Donald Trump
Lavrov menegaskan Rusia menyambut baik setiap inisiatif yang berusaha menyelesaikan krisis Ukraina, termasuk usulan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, asalkan membantu mengatasi akar masalah krisis tersebut.
"Trump pernah mengatakan ia hanya butuh 24 jam. Sekarang, bahasanya sudah berbeda," kenang Lavrov.
"Kami akan menyambut setiap inisiatif yang dapat membawa hasil yang diinginkan."
"Dan hanya ada satu hasil yang diharapkan, penyelesaian masalah ini berdasarkan penghapusan akar penyebab krisis Ukraina," tegasnya.
Menurut Lavrov, salah satu akar penyebab utama perang adalah ancaman terhadap keamanan Rusia oleh Barat, yang berusaha menarik Ukraina ke dalam blok militer mereka.
"Keamanan bukanlah istilah abstrak, melainkan kebutuhan dasar manusia," jelasnya.
Sebab lainnya, lanjut Lavrov, adalah diskriminasi terhadap warga yang berbahasa Rusia, termasuk undang-undang yang melarang penggunaan bahasa Rusia dan Gereja Ortodoks kanonis.
"Jika Trump berhasil membatalkan undang-undang yang kami bicarakan ini, itu akan menjadi langkah maju," kata Lavrov.
"Ini sangat mudah, tinggal melakukan pemungutan suara."
"Sikap kami sangat jelas: kita perlu menghilangkan akar masalahnya. Semua orang tahu apa itu," tandasnya.
Baca Juga: Rusia Klaim Tembak Jatuh 125 Drone Ukraina dalam Serangan Terbesar sejak Invasi
Lavrov juga menyinggung dekrit presiden Ukraina yang melarang negosiasi dengan Rusia.
"Dekrit [Presiden Vladimir] Zelensky yang melarang negosiasi dengan Rusia masih berlaku, jadi saya bahkan tidak akan berspekulasi tentang bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah ini," ujarnya.
Lavrov menyatakan ia telah meminta penjelasan China dan Brasil terkait isi rencana perdamaian yang mereka ajukan untuk Ukraina.
"Saya dan kolega saya membahas rencana mereka. Saya meminta mereka mengenai aspek praktis dari inisiatif tersebut, karena rencana China-Brasil yang berisi lima atau enam poin memiliki gagasan yang tepat, seperti seruan untuk perdamaian, keadilan, dan kepatuhan terhadap hukum internasional," ujarnya.
"Tidak ada yang menolak itu, tetapi tidak ada yang menjelaskan secara detail bagaimana mereka berencana mencapai perdamaian. Yang saya tahu, masalah ini masih dalam tahap pertimbangan."
Baca Juga: Adik Kim Jong-Un Kecam Bantuan Militer AS ke Ukraina, Sebut Perang Nuklir dengan Rusia Bakal Pecah
Menurut Lavrov, China dan Brasil belum menyusun rencana konkret untuk menyelesaikan krisis Ukraina dan hanya menyatakan niat mereka.
"Saya tidak melihat rencana aksi dalam dokumen tersebut. Saya hanya melihat deklarasi niat," tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri China Wang Yi, dalam pertemuan dengan Celso Amorim, penasihat utama Presiden Brasil, menyatakan China, Brasil, dan negara-negara lain di Selatan Global sedang menciptakan platform untuk memfasilitasi solusi damai terhadap krisis Ukraina.
Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengkritik rencana tersebut, dan menyebutnya "destruktif."
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menyebut Zelensky tidak berada dalam posisi untuk mengkritik rencana tersebut, karena keputusan sepenuhnya ada di tangan Barat, yang mengendalikan Kiev.
Sumber : TASS
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.