TUNIS, KOMPAS.TV - Masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) Tunisia secara resmi dimulai Sabtu (14/9/2024), sehari setelah warga Tunisia turun ke jalan-jalan ibu kota dalam unjuk rasa besar-besaran menyuarakan kemarahan terhadap kondisi negara yang terus memburuk.
Dalam protes terbesar sejak gelombang penangkapan besar-besaran oleh pihak berwenang awal tahun ini, warga melakukan aksi damai pada Jumat (13/9/2024), menuntut diakhirinya apa yang mereka sebut sebagai negara polisi.
“Kami di sini untuk menyatakan ketidaksetujuan kami dengan apa yang sebenarnya terjadi di negara ini,” kata Khaled Ben Abdeslam, konsultan pengembangan perkotaan, kepada Associated Press.
Pada 2011, Presiden Tunisia saat itu, Zine El Abidine Ben Ali, digulingkan oleh unjuk rasa nasional yang memicu revolusi di dunia Arab.
Baca Juga: Jemaah Haji yang Meninggal Capai 49 Orang, Menteri Agama Tunisia Langsung Dipecat
Namun, lebih dari satu dekade kemudian, Ben Abdeslam mengungkapkan kekhawatirannya tentang semakin banyaknya tokoh politik yang dijebloskan ke penjara di bawah Presiden Kais Saied.
"Kita perlu memastikan Tunisia benar-benar 'membuka halaman baru' demi masa depan anak-anak kita," lanjutnya.
Dia, bersama para demonstran lainnya, mengkritik situasi ekonomi dan politik negara itu. Mereka membawa poster yang mengecam kenaikan harga bahan pokok serta kekhawatiran akan kebebasan sipil.
"Mana gula? Mana minyak? Mana kebebasan? Mana demokrasi?" tulis poster yang dibawa para pengunjuk rasa.
Protes ini menutup pekan di mana partai oposisi terbesar Tunisia, Ennahda, mengungkapkan para anggotanya ditangkap secara massal dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Protes juga berlangsung ketika Saied bersiap untuk berkampanye dalam pilpres yang akan berlangsung pada 6 Oktober mendatang, di mana ia akan meminta mandat kedua.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Tegaskan Kemenangan Abdelmadjid Tebboune dalam Pilpres Aljazair
Sejak pertama kali terpilih pada 2019, Saied berhasil meraih dukungan rakyat dengan janji-janji antikorupsi, di tengah kekacauan politik yang melanda demokrasi muda Tunisia setelah gelombang protes yang dinamakan Musim Semi Arab atau Arab Spring.
Namun, selama menjabat, Saied mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kekuasaan, termasuk membekukan parlemen dan mengubah konstitusi. Para jurnalis, aktivis, serta oposisi politik dari berbagai spektrum ideologi juga ditangkap.
Situasi ekonomi pun terus memburuk. Tingkat pengangguran mencapai 16 persen, salah satu yang tertinggi di kawasan, dan terutama berdampak pada kaum muda Tunisia.
Meski begitu, Saied masih berhasil mendapatkan dukungan dengan retorika populis, seringkali menargetkan migran dari Afrika Sub-Sahara yang ia tuduh terlibat dalam kekerasan dan mengubah demografi negara.
Baca Juga: Krisis Ekonomi dan Kekeringan, Warga Tunisia Kesulitan Beli Hewan Kurban untuk Iduladha
Dalam beberapa bulan menjelang pemilihan, tindakan keras politik semakin meluas. Para penantang Saied ditangkap, diminta tutup mulut, atau dihadapkan dengan dakwaan yang dianggap bermotif politik.
Bahkan, calon yang telah disetujui oleh otoritas pemilu Tunisia juga menghadapi ancaman penangkapan.
Ayachi Zammel, pengusaha yang berencana menantang Saied, ditangkap tidak lama setelah diumumkan sebagai salah satu dari dua calon yang disetujui untuk ikut pilpres.
Pengacaranya, Abdessattar Messaoudi, khawatir kliennya bisa dilarang seumur hidup dari politik.
Jaringan Tunisia untuk Pertahanan Hak dan Kebebasan, sebuah koalisi baru dari kelompok masyarakat sipil dan partai politik, mengorganisasi protes pada Jumat untuk menyoroti gelombang otoritarianisme.
Ketidakpuasan semakin memuncak ketika otoritas pemilu, yang diisi oleh loyalis Saied, menolak putusan pengadilan yang memerintahkan pengembalian tiga calon presiden yang ditolak.
Dalam waktu kurang dari sebulan, warga Tunisia diharapkan akan memberikan suara mereka dalam pemungutan suara pada 6 Oktober, di tengah kekhawatiran dan keraguan yang menyebar mengenai masa depan politik negara ini.
Hajer Mohamed, asisten firma hukum berusia 33 tahun, mengatakan ia dan teman-temannya sangat khawatir dengan arah negaranya yang mereka tidak pernah bayangkan ketika mereka merayakan kebebasan yang diperoleh 13 tahun lalu.
“Kami tidak pernah berpikir setelah revolusi 2011 kami akan hidup dalam situasi yang mencekik seperti ini," katanya.
"Bahkan di bawah diktator Zine El Abidine Ben Ali, keadaannya tidak seburuk sekarang."
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.