GAZA CITY, KOMPAS.TV - Kelompok perlawanan Palestina, Hamas murka atas keputusan pemerintah Israel membiayai tur pemukim ilegal ke Masjid Al Aqsa. Hal itu dianggap eskalasi berbahaya yang dapat memicu perang agama.
Hamas menegaskan, keputusan ini merupakan peningkatan ketegangan yang sangat berisiko dan menuding Israel serta para pendukungnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas potensi terjadinya perang agama di wilayah tersebut.
“Pemerintah ekstremis dan fasis ini bermain dengan api, karena tidak peduli dengan konsekuensi dari tindakan Zionisnya yang melanggar kesucian, status, dan identitas Masjid Al Aqsa yang diberkahi dalam bangsa Arab dan Islam kita,” ungkap Hamas dalam pernyataannya seperti laporan Anadolu, Rabu (28/8/2024).
Pada Senin, media Israel KAN melaporkan bahwa kantor Menteri Warisan Amichai Eliyahu, seorang menteri ekstremis yang dikenal anti-Palestina, akan mengalokasikan 2 juta shekel (sekitar Rp8,5 miliar) untuk tur berpemandu yang diperkirakan akan dilaksanakan dalam beberapa minggu mendatang.
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengungkapkan pada Radio Angkatan Darat Israel bahwa kebijakannya adalah untuk "mengizinkan orang Yahudi berdoa di dalam area Temple Mount (mengacu pada Masjid AlAqsa)," meskipun Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengeklaim berulang kali untuk menjaga status quo di Masjid Al Aqsa.
Status quo di Masjid Al-Aqsa mengacu pada situasi yang ada sebelum Israel menduduki Yerusalem Timur pada tahun 1967, di mana Wakaf Islam Yerusalem yang berafiliasi dengan Kementerian Wakaf Yordania bertanggung jawab atas pengelolaan urusan masjid tersebut.
Baca Juga: Kemlu RI Kecam Rencana Menteri Israel Bangun Sinagoge di Al-Aqsa, Yordania Minta PBB Bertindak
Namun, pada tahun 2003, otoritas Israel mengubah status ini dengan mengizinkan pemukim memasuki Masjid Al Aqsa tanpa persetujuan Wakaf Islam, yang terus menuntut penghentian serangan ini.
Ben-Gvir juga mengeklaim orang Yahudi memiliki hak untuk berdoa di Masjid Al Aqsa dan menyatakan akan membangun sinagoga di lokasi tersebut.
Pernyataan ini merupakan pertama kalinya seorang menteri Israel secara terbuka membahas rencana pembangunan sinagoga di dalam Masjid Al Aqsa, meskipun dalam beberapa bulan terakhir ia sering menyerukan agar orang Yahudi diperbolehkan berdoa di situs tersebut.
Pernyataan Ben-Gvir ini muncul di tengah berulangnya serangan ke kompleks Al Aqsa oleh pemukim ilegal Israel yang dilindungi oleh polisi.
Masjid Al-Aqsa adalah situs suci ketiga dalam Islam, sementara orang Yahudi menyebut area tersebut sebagai Temple Mount, yang diyakini sebagai lokasi dua kuil Yahudi kuno.
Kecaman datang dari seluruh dunia Arab dan Islam. Kementerian Luar Negeri Saudi menolak tegas seruan Ben-Gvir dan “provokasi yang terus-menerus terhadap sentimen umat Muslim di seluruh dunia.” Mereka menekankan perlunya “menghormati status historis dan hukum Masjid Al-Aqsa” dan mendesak komunitas internasional untuk mengakhiri krisis kemanusiaan Palestina.
Baca Juga: Rencana Pendirian Sinagoga Yahudi di Kompleks Masjid Al-Aqsa: Ada Protes dan Kecaman Internal Israel
Otoritas Palestina mengecam seruan Ben-Gvir sebagai upaya untuk menarik seluruh wilayah ke dalam “perang agama.”
Juru bicara Otoritas Palestina, Nabil Abu Rudeineh, menyatakan, “Rakyat Palestina tidak akan menerima adanya kerusakan pada Masjid Al Aqsa, yang merupakan garis merah yang tidak dapat dilintasi dalam keadaan apa pun.”
Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) Turki mengutuk pernyataan menteri Israel tersebut sebagai 'keji'. Juru bicara Omer Celik mengatakan di X, “Pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, tentang pembangunan sinagoga di lokasi Masjid Al Aqsa adalah pernyataan keji dan terkutuk yang menyerang semua muslim dan kemanusiaan.”
Kementerian Luar Negeri Mesir menegaskan Israel secara hukum bertanggung jawab untuk mematuhi status quo di Masjid Al Aqsa dan melindungi situs suci Islam dan Kristen. Mereka menyerukan Israel untuk mematuhi kewajibannya sebagai kekuatan pendudukan dan “menghentikan pernyataan provokatif semacam itu yang bertujuan untuk meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.”
Yordania menyebut seruan Ben-Gvir sebagai “pelanggaran hukum internasional dan provokasi yang tidak dapat diterima yang memerlukan sikap internasional yang tegas.” Kementerian Luar Negeri Yordania menambahkan, pernyataan tersebut “memicu ekstremisme dan berusaha mengubah status quo historis dan hukum di Yerusalem dan situs-situs sucinya melalui penerapan fakta dan praktik baru yang didorong oleh narasi eksklusi yang berpandangan sempit.”
Qatar juga mengecam seruan menteri Israel sebagai “perpanjangan upaya untuk mengubah status historis dan hukum Masjid Al-Aqsa.” Kementerian Luar Negeri Qatar menekankan perlunya tindakan mendesak oleh komunitas internasional “untuk menahan (pendudukan) Israel dan mengambil tanggung jawab moral dan hukum terhadap Yerusalem dan kesuciannya.”
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengecam seruan Ben-Gvir sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap Konvensi Jenewa dan hukum internasional.” OKI menyatakan bahwa Yerusalem “merupakan bagian integral dari wilayah Palestina yang diduduki pada tahun 1967 dan ibu kota Negara Palestina.”
Sumber : Anadolu
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.