"Kami tidak akan membiarkan kekejaman seperti ini terjadi di wilayah kami," tegas Sana dalam siaran televisi negara pada hari Minggu.
Dia juga menyatakan bahwa pemerintah telah mengirimkan bantuan medis dan kemanusiaan kepada semua yang terdampak, dan menekankan komitmen untuk melindungi nyawa penduduk.
Baca Juga: Mali, Niger, dan Burkina Faso Mundur dari Blok Regional Afrika Barat ECOWAS Saat Ketegangan Memuncak
Saat ini, sekitar setengah dari wilayah Burkina Faso berada di luar kendali pemerintah, karena serangan kelompok terkait Al-Qaida dan ISIS semakin meluas.
Ribuan orang telah tewas, dan lebih dari 2 juta lainnya terpaksa mengungsi, menjadikan ini salah satu krisis kemanusiaan yang paling terabaikan di dunia.
Ketidakstabilan ini juga memicu dua kudeta militer pada tahun 2022. Namun, meskipun junta militer yang berkuasa berjanji untuk menghentikan serangan tersebut, mereka masih kesulitan mencapai tujuan tersebut, bahkan setelah membangun kemitraan keamanan baru dengan Rusia dan negara-negara Sahel lainnya yang juga dilanda konflik.
Kapten Ibrahim Traore, pemimpin junta Burkina Faso, yang dituduh memaksa para pengkritiknya untuk bergabung dengan tentara, juga telah meminta warga sipil untuk mendukung upaya militer dalam menjaga keamanan. Sebuah satuan tugas sipil, Relawan untuk Pertahanan Tanah Air (VDP), telah bekerja sama erat dengan militer.
Penggalian parit di Komune Barsalogho adalah salah satu dari banyak upaya pertahanan yang didorong oleh pihak berwenang di wilayah yang menjadi target kelompok terkait Al-Qaida.
Kelompok ini semakin efektif dalam serangannya karena kurangnya dukungan udara dan intelijen yang memadai dari pasukan keamanan, serta lemahnya kontrol di perbatasan dengan Mali dan Niger, yang juga menghadapi kekerasan serupa.
Pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan dan VDP juga telah memicu lebih banyak orang untuk bergabung dengan kelompok militan, menurut Nasr.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.