PARIS, KOMPAS.TV - Pencapaian mengejutkan terjadi di pemilu Prancis 2024 setelah koalisi sayap kiri Prancis mengalahkan sayap kanan.
Berdasarkan hasil akhir pemilu pada MInggu (7/7/2024) pagi waktu setempat, koalisi sayap kiri Prancis telah memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan legislatif.
Padahal sayap kanan Prancis sempat menyerukan kepercayaan diri untuk menang.
Baca Juga: Pejabat Senior Hamas Tewas Terbunuh akibat Serangan Udara Israel ke Sekolah di Gaza
Meski begitu, koalisi sayap kiri Prancis tersebut gagal memenangkan mayoritas absolut kursi di parlemen.
Dikutip dari Associated Press, hasil dari pemilu ini membuat Prancis menghadapi kemungkinan besar berupa parlemen yang menggantung dan ancaman kelumpuhan politik di pilar Uni Eropa dan negara tuan rumah Eropa.
Bahkan menganggu pasar dan perekenomian Prancis, dan mempunyai implikasi luas terhadap perang di Ukraina, diplomasi global dan stabilitas perekonomian Eropa.
Saat menyerukan pemilu pada 9 Juni, setelah peningkatan jumlah pemilih sayap kanan Prancis untuk Parlemen Eropa, Presiden Emmanuel Macron mengatakan mengembalikan pemilih ke kotak suara akan memberikan klarifikasi.
Namun pada semua level, perjudian itu tampaknya menjadi bumerang.
Berdasarkan hasil putaran kedua, koalisi sayap kiri ternyata mengalami lonjakan suara untuk meraih kursi terbanyak parlemen.
Mereka meraih 182 kursi, sementara kelompok sentris Macron memiliki 168 kursi.
Bagi Macron, ia harus membentuk aliansi untuk menjalankan pemerintahan.
Sementara Partai Nasional (RN) sayap kanan Prancis yang dipimpin Marine Le Pen, berada di tempat ketiga dengan mendapat 143 kursi.
Hal itu berarti tiga blok utama tersebut kurang 289 kursi yang diperlukan untuk mengontrol 577 kursi di Majelis Nasional.
“Negara kami mengalami situasi politik yang tak diduga, dan bersiap menyambut dunia dalam beberapa pekan,” kata Perdana Menteri Gabriel Attal, yang bersiap mengundurkan diri.
Menjelang dimulainya Olimpiade, Attal mengatakan telah siap untuk tetap di jabatannya selama tuntutan tugas.
Sementara itu, Macron mempunyai sisa masa jabatan presiden Prancis selama tiga tahun.
Attal pun semakin memperjelas ketidaksetujuannya terhadap keputusan mengejutkan Macron yang mengadakan pemilu.
Baca Juga: Serukan Korea Selatan Harus Terima Diinvasi Korea Utara, Akitivis Ini Terancam Didakwa
“Saya tak memilih pembubaran ini,” katanya merujuk pada Majelis Nasional yang akan segera berakhir.
Pada Majelis Nasional tersebut aliansi sentrai Macron dulunya merupakan kelompok terbesar, meski tanpa mayoritas absolut.
Namun, partai ini mampu memerintah selama dua tahun, menarik anggota parlemen dari kubu lain untuk melawan upaya menjatuhkan partai tersebut.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.