TEHERAN, KOMPAS.TV - Iran akan mengadakan pemilihan presiden (pilpres) putaran kedua yang akan mempertemukan tokoh yang kurang dikenal, Masoud Pezeshkian, dan mantan negosiator nuklir Iran, Saeed Jalili.
Hasil pilpres yang diumumkan pada Sabtu (29/6/2024), menunjukkan partisipasi pemilih terendah dalam sejarah Iran.
Dilansir Associated Press, lebih dari 60 persen pemilih tidak memberikan suara dalam pemilihan ini.
Pezeshkian berhasil mengalahkan Jalili, yang bersaing dengan dua kandidat lainnya. Kampanye Pezeshkian kini harus menarik pemilih untuk putaran kedua yang akan digelar pada 5 Juli mendatang.
Menurut juru bicara komisi pemilihan umum Iran, Mohsen Eslami, dari 24,5 juta suara yang masuk pada pemungutan suara pada Jumat (28/6/2024) lalu, Pezeshkian meraih 10,4 juta suara, sementara Jalili 9,4 juta suara.
Ketua Parlemen Mohammad Bagher Qalibaf mendapat 3,3 juta suara, dan ulama Syiah Mostafa Pourmohammadi mendapatkan lebih dari 206.000 suara.
Hukum Iran mengharuskan pemenang mendapatkan lebih dari 50 persen dari total suara. Jika tidak, dua kandidat teratas akan maju ke putaran kedua seminggu kemudian.
Hanya ada satu pilpres Iran yang berlanjut hingga putaran kedua sepanjang sejarah negara itu, yaitu tahun 2005, ketika Mahmoud Ahmadinejad mengalahkan mantan Presiden Akbar Hashemi Rafsanjani.
Menurut Associated Press, sejak Revolusi Islam 1979, perempuan dan mereka yang menyerukan perubahan radikal dilarang mencalonkan diri. Sementara pemilihan umum tidak diawasi oleh pemantau yang diakui secara internasional.
Baca Juga: Iran Setujui 6 Kandidat untuk Pemilihan Presiden Menggantikan Raisi, Ahmadinejad Kembali Diblokir
Ada tanda-tanda ketidakpuasan publik yang lebih meluas pada pilpres kali ini. Lebih dari 1 juta suara dinyatakan tidak sah. Hal ini dinilai sebagai tanda warga merasa wajib memberikan suara tetapi tidak ingin memilih salah satu kandidat.
Menurut hasil pemungutan suara, total partisipasi pemilih adalah 39,9 persen. Sebagai perbandingan, Pilpres 2021 yang memilih Ebrahim Raisi memiliki tingkat partisipasi sebesar 48,8 persen, sementara pemilihan parlemen pada bulan Maret lalu memiliki partisipasi 40,6 persen.
Ada seruan boikot pemilu, termasuk dari peraih Nobel Perdamaian yang dipenjara, Narges Mohammadi.
Putri dari Mir Hossein Mousavi, salah satu pemimpin protes "Gerakan Hijau 2009" yang masih menjadi tahanan rumah, mengatakan ayah dan ibunya menolak untuk memilih.
Ada juga yang memandang Pezeshkian mewakili kandidat yang disetujui pemerintah. Dalam sebuah film dokumenter tentang kandidat reformis yang ditayangkan di stasiun TV negara, seorang perempuan mengatakan generasinya “bergerak menuju tingkat” permusuhan dengan pemerintah yang sama dengan generasi Pezeshkian pada Revolusi 1979.
Jalili diprediksi akan langsung menang pada putaran pertama jika suara untuknya dan dua kandidat lainnya tidak terpecah.
Jalili dikenal sebagai "Martir Hidup" setelah kehilangan kaki dalam Perang Iran-Irak pada 1980-an dan terkenal di antara para diplomat Barat karena ceramah dan sikap garis kerasnya.
Qalibaf, mantan jenderal di Garda Revolusi dan kepala polisi Iran, diduga punya basis kekuatan yang lebih luas, meskipun terganggu oleh tuduhan korupsi dan perannya dalam tindakan kekerasan di masa lalu.
Setelah mengakui hasil pemilu, dia dengan cepat menyatakan dukungan bagi Jalili. Ia juga mengkritik Pezeshkian karena bersekutu dengan Presiden Hassan Rouhani dan mantan menteri luar negerinya, Mohammad Javad Zarif.
Keduanya mencapai kesepakatan nuklir Iran pada 2015 dengan kekuatan dunia, yang kemudian runtuh setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan tersebut.
Baca Juga: Eks Wakil Raisi Mundur dari Pencalonan Presiden Iran, Demi Menguatnya Koalisi Garis Keras
“Jalan belum berakhir, dan meskipun saya menghormati Dr. Pezeshkian secara pribadi, ... saya meminta semua kekuatan revolusioner dan pendukung saya untuk membantu menghentikan gelombang yang menyebabkan sebagian besar masalah ekonomi dan politik kita hari ini,” kata Qalibaf dalam sebuah pernyataan.
Sekarang pertanyaannya adalah apakah Pezeshkian akan mampu menarik pemilih untuk mendukungnya.
Pada hari pemilihan Jumat, dia memberikan komentar tentang hubungan dengan Barat setelah memberikan suara yang tampaknya bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pemilih untuk kampanyenya, bahkan setelah mendapat peringatan terselubung dari Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Presiden Ebrahim Raisi, 63, meninggal dunia dalam kecelakaan helikopter pada 19 Mei 2024 yang juga menewaskan menteri luar negeri Iran dan lainnya. Dia dianggap sebagai murid Khamenei dan calon penerusnya.
Namun, banyak yang mengenalnya karena keterlibatannya dalam eksekusi massal yang dilakukan Iran pada tahun 1988, dan perannya dalam tindakan keras terhadap protes-protes atas kematian Mahsa Amini, wanita muda yang ditahan polisi karena diduga tidak memakai jilbab dengan benar.
Pemungutan suara pada Jumat diwarnai satu serangan yang diduga terkait dengan pemilihan. Orang bersenjata melepaskan tembakan ke sebuah van yang mengangkut kotak suara di provinsi di bagian tenggara Iran yang bergolak, Sistan dan Baluchestan.
Serangan itu menewaskan dua petugas polisi dan melukai lainnya, menurut kantor berita Iran, IRNA. Kekerasan antara pasukan keamanan dan kelompok militan Jaish al-Adl, serta pengedar narkoba, biasa terjadi di provinsi tersebut.
Sumber : Associated Press/IRNA
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.