"Pedalaman Mongolia dipenuhi ratusan bangkai hewan, menumpuk di salju yang mencair," imbuhnya lagi.
Mengurus bangkai hewan dengan cepat agar tidak menyebarkan penyakit adalah tantangan besar lainnya. Pada awal Mei, 5,6 juta atau hampir 80% dari hewan yang mati telah dikubur.
Suhu yang lebih hangat dapat menyebabkan kebakaran hutan atau badai debu. Aliran air yang deras dari salju yang mencair meningkatkan risiko banjir bandang, terutama di daerah perkotaan.
"Banyak hewan ternak yang hamil, yang lemah akibat musim dingin, kehilangan anak mereka, kadang-kadang karena tidak dapat memberi makan dengan cukup," sambung Matilda Dimovska, perwakilan UNDP di Mongolia,
Dzud adalah contoh sempurna bagaimana perubahan iklim terkait dengan kemiskinan dan ekonomi, katanya. Penggembala yang kehilangan ternak mereka sering pindah ke kota-kota seperti Ulaanbaatar, tetapi menemukan sedikit kesempatan kerja.
“Mereka memasuki siklus kemiskinan,” katanya.
Baca Juga: Gelombang Panas Ekstrem di Asia dan Timur Tengah Dipicu Perubahan Iklim yang Disebabkan Manusia
"Semakin seringnya dzud membuat Mongolia mengembangkan sistem peringatan dini yang lebih baik untuk bencana alam," kata Mungunkhishig Batbaatar, direktur negara dari organisasi nirlaba People in Need.
Menggabungkan teknologi dengan pendekatan tingkat komunitas bekerja dengan baik.
“Diperkirakan negara-negara dengan cakupan peringatan dini yang terbatas mencatat kematian akibat bencana delapan kali lebih tinggi daripada negara-negara dengan cakupan yang substansial hingga komprehensif,” tambah dia.
"Sementara itu, bantuan internasional sangat tidak memadai," kata Dzhumaeva.
Seruan IFRC yang diluncurkan pada pertengahan Maret belum mencapai 20% dari targetnya sebesar 5,5 juta Franc Swiss (Rp93 miliar).
"Anggaran yang ketat karena tanggapan mendesak terhadap krisis seperti Ukraina atau Gaza menjadi faktor. Tetapi ini menyisakan sedikit ruang untuk mengatasi dampak menghancurkan dzud di Mongolia,” paparnya.
Mongolia membutuhkan bantuan tetapi juga perlu beradaptasi dengan dzud dengan strategi seperti peramalan cuaca yang lebih baik dan langkah-langkah untuk menghentikan penggembalaan berlebihan. Penggembala perlu mendiversifikasi pendapatan mereka untuk membantu mengurangi dampak kerugian ternak.
Khandaa Byamba, 37 tahun, seorang penggembala unta yang tinggal di provinsi Dundgobi di Gurun Gobi Mongolia mengatakan dalam wawancara online bahwa dia belajar dari orangtua dan juga dari pengalaman sulit menghadapi dzud yang berulang.
Melihat tanda-tanda awal dari dzud lain, dia membiarkan untanya berkeliaran, mengandalkan naluri mereka sendiri untuk mencari padang rumput. Keluarganya sebelumnya memutuskan hanya menggembala unta untuk menghadapi perubahan iklim, kekeringan, dan padang rumput yang semakin memburuk yang berubah menjadi gurun.
Suami Khandaa Byamba mengikuti unta selama 100 kilometer pertama sementara dia tinggal di belakang dengan beberapa hewan muda.
Saat salju menumpuk, keluarga lain melaporkan kehilangan banyak hewan. Tetapi setelah musim dingin, sebagian besar untanya kembali. Mereka hanya kehilangan tiga unta dewasa dan 10 unta muda dari kawanan mereka yang berjumlah lebih dari 200 ekor.
“Tahun ini adalah yang terberat,” tandas dia.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.