YERUSALEM, KOMPAS.TV - Hamas mengumumkan pada Senin (6/5/2024), bahwa mereka telah menerima proposal gencatan senjata yang diajukan Mesir-Qatar untuk menghentikan perang tujuh bulan dengan Israel di Gaza.
Pengumuman itu dikeluarkan hanya beberapa jam setelah Israel memerintahkan sekitar 100.000 warga Palestina untuk mengungsikan diri dari Rafah di selatan Jalur Gaza, sebagai isyarat bahwa invasi darat yang sudah lama dijanjikan akan segera terjadi.
Belum jelas apakah kesepakatan tersebut akan memenuhi tuntutan utama Hamas yaitu serangan Israel diakhiri dan penaikan pasukan sepenuhnya dari Gaza.
Hamas menyatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pemimpin tertingginya, Ismail Haniyeh, telah menyampaikan kabar tersebut dalam panggilan telepon dengan perdana menteri Qatar dan menteri intelijen Mesir.
Pengumuman Hamas itu disambut dengan sukacita oleh warga Palestina yang menghuni kamp pengungsi di sekitar Rafah. Mereka berharap kesepakatan gencatan senjata akan mencegah serangan darat Israel ke kota tersebut.
Pejabat Hamas menunjukkan salinan proposal gencatan senjata Mesir-Qatar kepada Al Jazeera yang diklaim oleh gerakan tersebut telah disetujui.
Proposal tersebut mencakup tiga fase dan akan mengakhiri perang Israel di Gaza serta pembebasan tawanan Israel yang ditahan di wilayah tersebut dan warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel.
Baca Juga: Senjata AS Teridentifikasi Dalam Serangan Israel ke Lebanon yang Tewaskan 7 Paramedis
Kesepakatan yang disebut telah disetujui Hamas, kompleks dan terdiri dari tiga fase, masing-masing berlangsung enam minggu.
Pada fase pertama, akan ada penghentian sementara pertempuran antara Hamas dan Israel serta penarikan mundur pasukan Israel ke arah timur, menjauh dari daerah Gaza yang padat penduduk, dan menuju perbatasan antara Israel dan wilayah Palestina.
Pesawat dan drone Israel juga akan berhenti terbang di atas Gaza selama 10 jam setiap hari, dan selama 12 jam pada hari ketika tawanan dibebaskan.
Hamas akan secara bertahap membebaskan 33 tawanan (baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal) dalam fase pertama.
Tawanan-tawanan tersebut adalah perempuan, siapa pun di atas usia 50 tahun, mereka yang sakit, atau bukan prajurit di bawah usia 19 tahun.
Untuk setiap tawanan sipil Israel yang dibebaskan hidup-hidup, Israel akan membebaskan 30 warga Palestina yang ditahannya.
Untuk setiap prajurit perempuan yang dibebaskan oleh Hamas, Israel akan membebaskan 50 warga Palestina.
Penarikan mundur pasukan Israel akan memungkinkan warga Palestina yang terusir untuk kembali ke rumah mereka di seluruh Gaza, yang akan terjadi secara bertahap seiring dengan pembebasan tawanan oleh Hamas.
Terpisah, kesepakatan tersebut menetapkan, pekerjaan rekonstruksi Gaza harus dimulai dalam fase ini, serta aliran bantuan dan izin bagi UNRWA dan organisasi bantuan lainnya dibuka untuk membantu warga sipil.
Pada fase kedua, akan ada akhir operasi militer permanen dan penarikan pasukan Israel sepenuhnya dari Gaza.
Akan ada juga pertukaran tawanan lainnya, kali ini melibatkan semua tawanan pria Israel yang tersisa, termasuk prajurit yang ditawan di Gaza.
Para tawanan Israel itu akan dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan tawanan Palestina yang jumlahnya belum ditentukan.
Fase ketiga akan melihat pertukaran jenazah tawanan dan tawanan yang dipegang oleh kedua belah pihak.
Di sisi pengembangan, fase ini akan melibatkan rencana rekonstruksi tiga hingga lima tahun untuk Gaza dan, mungkin yang paling penting, akhir dari blokade Israel terhadap enklave tersebut yang sudah berlangsung sejak 2007.
Baca Juga: Badan Pengungsi Palestina UNRWA Tolak Perintah Israel agar Mereka Pergi dari Rafah, Gaza Selatan
Israel Bungkam dan Lanjutkan Pengeboman Rafah
Pada Senin, Israel memerintahkan warga Palestina di timur Rafah untuk pergi karena mereka bersiap untuk meluncurkan kampanye militer di area selatan Gaza itu, meskipun ditentang masyarakat internasional.
Hal ini tampaknya menunjukkan Israel tidak menganggap ada kesepakatan yang akan terjadi.
Tetapi sekarang, seperti yang diungkapkan oleh wakil pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya, bola ada di tangan Israel, yang menanggapi proposal kesepakatan gencatan senjata tersebut dengan hati-hati.
Laporan awal media Israel memunculkan pesan bahwa kesepakatan yang disetujui oleh Hamas itu tidak sesuai dengan apa yang dibahas oleh Israel.
Menteri Keamanan Nasional Israel yang berhaluan sayap kanan jauh, Itamar Ben-Gvir, langsung menggunakan media sosial untuk menolak kesepakatan dan menyerukan invasi terhadap Rafah.
Seorang pejabat Israel yang dikutip Al Jazeera menambahkan, pengumuman Hamas tampak "seolah-olah merupakan tipu muslihat yang ditujukan untuk membuat Israel terlihat seperti pihak yang menolak kesepakatan".
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kesepakatan tersebut tidak memenuhi tuntutan inti Israel tetapi ia akan mengirim delegasi ke Kairo untuk bertemu dengan para perunding.
Ia menambahkan, kabinet perang Israel sepakat secara bulat untuk "melanjutkan operasi di Rafah untuk menekan Hamas secara militer", dan pada Senin malam, serangan udara Israel yang intens terjadi di selatan Gaza.
Sementara para anggota keluarga tawanan yang ditahan di Gaza melakukan protes di Tel Aviv, menyerukan pemerintah Israel menerima kesepakatan tersebut.
Adapun militer Israel menolak untuk berkomentar.
Baca Juga: Siap Serang Jalur Darat, Militer Israel Perintahkan 100.000 Penduduk Palestina di Rafah Mengungsi
Reaksi Warga Palestina di Gaza
Warga Palestina di seluruh Gaza turun ke jalan-jalan untuk merayakan proposal kesepakatan gencatan senjata.
Bagi penduduk enklave tersebut, sebuah kesepakatan akan berarti akhir dari apa yang telah menjadi perang yang menghancurkan, di mana seluruh Gaza telah hancur.
Namun, sebagian dari kegembiraan itu diredam oleh kenyataan bahwa kesepakatan ini hanya disetujui oleh satu pihak yaitu Hamas.
Jadi meskipun banyak yang tetap optimistis, warga Palestina tahu ini bukanlah akhir dari perang - terutama karena Israel terus meluncurkan serangan bom.
Reaksi Amerika Serikat
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berbicara dengan Netanyahu dan mengulangi keprihatinan AS tentang invasi Israel ke Rafah.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller, mengatakan pemerintah AS sedang meninjau tanggapan Hamas "dan membahasnya dengan mitra kami di wilayah tersebut."
Belum diketahui dengan pasti apakah proposal yang disetujui oleh Hamas secara substansial berbeda dari yang disetujui oleh Israel dan perunding internasional atau tidak.
Miller dan John Kirby, juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, menolak untuk membahas detailnya.
Miller mengatakan Washington akan "menahan diri dari penilaian" sampai pejabat memiliki waktu untuk sepenuhnya meninjau tanggapan Hamas.
Dia menolak untuk mengatakan apakah Hamas telah menyetujui tawaran yang disetujui oleh AS atau versi proposal yang berbeda.
"Seperti yang Anda ketahui, Direktur CIA [William] Burns berada di wilayah tersebut bekerja pada hal ini secara real-time. Kami akan mendiskusikan tanggapan ini dengan mitra kami dalam beberapa jam mendatang," ungkapnya.
Sementara Kirby mengatakan Biden telah diberi informasi tentang tanggapan Hamas, dan menambahkan bahwa pembicaraan berada pada "tahap kritis" dan ia tidak ingin mengatakan apa pun yang akan membahayakan prospek tercapainya kesepakatan.
Sumber : Al Jazeera/Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.