Kebijakan AS atas Gaza sendiri, membuat masyarakat di dalam AS terbagi secara tajam. Ini terlihar dari demonstrasi besar-besaran di kampus, dan menimbulkan protes secara global.
Rharrit mengatakan ia dan koleganya awalnya merasa ngeri dengan serangan Hamas pada 7 Oktober, yang memicu perang di Gaza.
Namun, ia kemudian kaget dengan tindakan Israel, yang melakukan serangan namun malah menjadikan warga sipil korban.
“Saya tahu akan adanya reaksi yang keras (karena serangan Hamas), tetapi saya yakin tak ada yang memprediksi hasilnya 34.000 orang terbunuh, dan kondisi kelaparan,” ucapnya.
Rharrit mengatakan tak ada satu insiden tertentu yang mendorongnya mengundurkan diri, melainkan serangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang perang.
Juga, semakin besarnya perasaan bahwa peringatannya mengenai kebijakan yang mengganggu stabilitas tak diindahkan.
“Saya pada dasarnya khawatir bahwa kita berada di pihak yang salah dalam sejarah dan merugikan kepentingan kita sendiri,” ujarnya.
Hal itu mengacu pada dukungan kuat Pemerintahan Joe Biden terhadap Israel dalam perang dengan Hamas.
Baca Juga: Ukraina Dinilai Tak Akan Mampu Menang Perang, Intelijen Kiev Desak Perundingan dengan Rusia
Rharrit juga menunjuk pada standar ganda dalam kebijakan AS seputar dampak perang, termasuk krisis kemanusiaan dan kematian jurnalis Palestina di Gaza.
“Sebagai warga Amerika Serikat, kami harus berdiri di atas prinsip kami. Kita tak bisa membuat pengecualian. Sekutu dan musuh kita menyaksikannya, hal ini merugikan kita sebagai sebuah bangsa,” ucapnya.
“Itu hanya satu demi satu rasa frustasi yang menghancurkan. Saya hanya terus berharap sampai akhirnya merasa, saya pikir harus mulai membuat perencanaan. Saya tak berpikir segalanya akan jadi lebih baik,” tambah Rharrit.
Sumber : CNN
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.