DEIR AL-BALAH, KOMPAS.TV - Ketika tim dokter internasional yang sudah berpengalaman panjang terjun ke daerah-daerah konflik datang ke rumah sakit di Gaza, mereka sudah siap menghadapi yang terburuk.
Namun, dampak mengerikan serangan Israel terhadap anak-anak Palestina membuat mereka terkejut bukan kepalang.
Seorang balita meninggal karena cedera otak akibat serangan Israel yang menghantamnya dengan keras. Sedangkan sepupunya, seorang bayi, masih berjuang untuk hidup dengan sebagian wajahnya tercabik oleh serangan yang sama.
Seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun menangis kesakitan mencari orang tuanya, tidak tahu bahwa mereka tewas dalam serangan Israel.
Di sisinya, ada saudara perempuannya, tetapi dia tidak mengenalinya karena hampir seluruh tubuhnya terbakar.
Kisah tragis itu disampaikan kepada The Associated Press oleh Tanya Haj-Hassan, seorang dokter perawatan intensif anak dari Yordania, setelah dia melakukan sif selama 10 jam di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di kota Deir al-Balah, Gaza bagian tengah, seperti dilaporkan pada Kamis (28/3/2024).
Haj-Hassan, yang memiliki pengalaman luas di Gaza dan secara rutin angkat bicara tentang dampak menghancurkan perang, merupakan bagian dari tim yang baru saja menyelesaikan tugas selama dua minggu di sana.
Setelah hampir enam bulan serangan Israel, sektor kesehatan Gaza hancur rata dengan tanah. Belasan dari 36 rumah sakit di Gaza, kini hanya berfungsi sebagian.
Yang lainnya tidak beroperasi karena kehabisan bahan bakar dan obat-obatan, dikepung dan terus ditembaki pasukan Israel, atau rusak akibat serangan Israel.
Kondisi tersebut membuat rumah sakit seperti RS Al-Aqsa harus merawat pasien yang sangat banyak dengan pasokan dan staf yang terbatas.
Sebagian besar tempat tidur unit perawatan intensif ditempati oleh anak-anak, termasuk bayi-bayi yang dibalut perban dan menggunakan masker oksigen.
"Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya di sini untuk merespons kasus-kasus anak-anak," ujar Haj-Hassan setelah sif, baru-baru ini.
"Apa yang hal itu katakan kepada Anda tentang setiap rumah sakit lain di Jalur Gaza?"
Baca Juga: 16 Warga Sipil Lebanon Tewas dalam Serangan Israel Termasuk 7 Petugas Medis
Sebuah tim dokter internasional lainnya yang bekerja di RS Martir Al-Aqsa pada Januari lalu, tinggal di sebuah pondok tamu terdekat.
Namun, karena serangan Israel yang semakin intens di sekitarnya, Haj-Hassan dan rekan-rekannya memilih untuk tinggal di rumah sakit tersebut.
Keputusan itu memberikan mereka gambaran yang sangat jelas tentang tekanan yang dialami rumah sakit karena jumlah pasien terus meningkat, kata Arvind Das, pemimpin tim di Gaza untuk International Rescue Committee.
Organisasi tersebut dan Medical Aid for Palestinians mengorganisasi kunjungan oleh Haj-Hassan dan yang lainnya.
Mustafa Abu Qassim, perawat dari Yordania yang menjadi bagian dari tim yang berkunjung, mengaku terkejut dengan kepadatan pasien di rumah sakit tersebut.
"Ketika kami mencari pasien, tidak ada ruangan yang tersedia," katanya.
"Mereka berada di koridor dengan hanya kasur, matras, atau selimut di lantai."
Sebelum perang, rumah sakit tersebut memiliki kapasitas sekitar 160 tempat tidur, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sekarang terdapat sekitar 800 pasien, namun banyak dari 120 staf rumah sakit itu tidak lagi bisa datang untuk bekerja.
Para pekerja kesehatan menghadapi perjuangan harian yang sama seperti orang-orang lain di Gaza dalam mencari makanan untuk keluarga dan berusaha memastikan keamanan mereka.
Banyak yang membawa anak-anak mereka ke rumah sakit untuk menjaga mereka tetap dekat, kata Abu Qassim.
"Ini sangat menyedihkan," tuturnya.
Ribuan orang yang terusir dari rumah mereka oleh perang juga tinggal di halaman rumah sakit, berharap tempat itu akan aman.
Meskipun rumah sakit memiliki perlindungan khusus di bawah hukum internasional, tetapi perlindungan tersebut dapat dicabut jika pihak yang berperang menggunakannya untuk tujuan militer.
Baca Juga: 12 Warga Palestina Tewas Tenggelam Usai Berusaha Ambil Bantuan AS yang Mendarat di Laut
Israel telah menuduh rumah sakit di Gaza berfungsi sebagai pusat komando, fasilitas penyimpanan senjata, dan tempat persembunyian untuk Hamas, tanpa menyajikan bukti visual yang cukup. Hamas telah membantah tuduhan tersebut.
Israel telah melakukan operasi skala besar terhadap rumah sakit terbesar di Gaza, RS Al-Shifa, selama seminggu terakhir.
Pasukan Israel mengeklaim tidak pernah menyerbu atau mengepung RS Martir Al-Aqsa tetapi menyerang daerah sekitarnya, kadang-kadang menyerang dekat dengan rumah sakit tersebut.
Pada Januari lalu, banyak dokter, pasien, dan warga Palestina yang mengungsi ke rumah sakit tersebut, terpaksa melarikan diri setelah serentetan serangan.
Pemboman dan serangan Israel di Gaza telah menewaskan lebih dari 32.500 warga Palestina dan melukai hampir 75.000 lainnya di wilayah yang berpenduduk 2,3 juta orang, menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza.
Serangan Israel terbaru ke Gaza dimulai pada 7 Oktober setelah kelompok perlawanan Palestina, Hamas, dan militan lainnya menyerang selatan Israel.
Israel mengeklaim serangan itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan sekitar 250 orang ditangkap Hamas dan di bawa ke Gaza, wilayah Palestina yang telah diduduki Israel sejak 1967 dan diblokade sejak 2007.
Israel mengeklaim sekitar 100 orang masih ditahan di Gaza, di mana jutaan warga Palestina telah terkurung sejak 2007 akibat blokade laut, darat, dan udara yang diterapkan Israel.
Hamas menyatakan orang-orang yang mereka tangkap dan bawa ke Gaza akan digunakan dalam pertukaran tahanan dengan Israel. Israel telah menahan ribuan warga Palestina, termasuk anak-anak dan wanita, sebagian tanpa dakwaan, sejak sebelum serangan 7 Oktober.
Pada awal serangannya ke Gaza, Israel membatasi masuknya makanan, bahan bakar, dan persediaan medis ke Gaza.
Israel mengeklaim tidak ada pembatasan lagi, masyarakat internasional mendesak Israel untuk memperbolehkan lebih banyak bantuan masuk.
Kelompok bantuan mengatakan prosedur pemeriksaan yang rumit di perbatasan, pertempuran yang terus berlanjut, dan keruntuhan ketertiban publik telah menyebabkan penurunan masuknya bantuan ke Gaza. Israel menuduh PBB tidak terorganisasi.
Akibatnya, staf rumah sakit berjuang untuk mengatasi kekurangan suku cadang untuk menjaga peralatan medis tetap berfungsi.
RS Martir Al-Aqsa juga kekurangan anestesi, yang berarti operasi dan prosedur lain sering dilakukan tanpa obat penghilang rasa sakit.
Haj-Hassan mengatakan hanya ada satu cara untuk mengakhiri krisis perawatan kesehatan di Gaza.
"Mereka perlu menghentikan perang," katanya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.