GAZA, KOMPAS.TV - Rania Abu Anza sudah 10 tahun mendambakan buah hati dari rahimnya. Perempuan Palestina ini bahkan menempuh tiga sesi fertilisasi in vitro (IVF) atau bayi tabung hingga akhirnya melahirkan bayi kembar, perempuan dan laki-laki di Jalur Gaza. Namun, baru lima bulan usai kelahiran, anaknya mati terbunuh serangan udara Israel di rumah tempat mereka mengungsi pada Sabtu (2/3/2024).
Rumah yang terletak di Rafah, selatan Gaza itu adalah milik keluarga besar Rania Abu Anza. Kerabat Rania, Faruq Abu Anza menyebut terdapat 35 orang yang tinggal di rumah itu, sebagian mengungsi dari daerah lain di Jalur Gaza.
Serangan tersebut membuat Rania kehilangan dua anak, suami, adik, keponakan, seorang sepupu yang sedang hamil, dan banyak kerabat lain. Sembilan kerabatnya masih tertimbun reruntuhan.
Faruq menegaskan semua orang yang berlindung di rumah itu adalah warga sipil, tidak ada milisi Hamas. Direktur rumah sakit yang menerima jenazah keluarga itu menyebut 14 orang terbunuh di rumah keluarga Abu Anza, enam di antaranya anak-anak.
Saat kejadian, Rania Abu Anza mengaku sedang tidur memeluk kedua anaknya, Naim dan Wissam. Suaminya tidur di samping mereka.
Pada Sabtu (2/3) sekitar pukul 23.30 waktu setempat, Israel mengebom rumah itu hingga hancur. Rania selamat, tetapi keluarga kecilnya terbunuh ledakan.
"Saya berteriak mencari anak dan suami saya (setelah ledakan). Mereka semua mati. Ayah mereka (mertua) membawa mereka dan meninggalkan saya," kata Rania kepada Associated Press, Minggu (3/3).
Rania dan suaminya, Wissam yang sama-sama berusia 29 tahun sudah sedekade berusaha medapatkan keturunan. Setelah dua sesi IVF yang berujung kegagalan, Rania menyadari ia hamil setelah sesi ketiga pada 2023 lalu.
Bayi kembarnya lahir pada 13 Oktober 2023, enam hari usai Israel meluncurkan operasi militer di Gaza untuk merespons serangan Hamas. Ia menyebut suaminya yang berprofesi sebagai buruh harian lepas sangat bangga hingga menamai anak perempuannya sesuai namanya sendiri.
"Saya belum cukup bersama mereka. Sumpah, saya belum cukup membersamai mereka," kata Rania.
Baca Juga: Jerman Diseret Nikaragua ke ICJ, Dituduh Fasilitasi Pembantaian Warga Palestina oleh Israel di Gaza
Rania mengungsi ke Rafah karena mengira wilayah paling selatan Gaza tersebut akan menjadi "zona aman." Namun, sekitar 1,5 juta penduduk yang kini mengungsi di Rafah masih terancam serangan Israel.
Tel Aviv telah menyatakan daerah itu akan menjadi target serangan darat yang selanjutnya. Israel menyuruh warga sipil di Rafah pergi, tetapi tidak menunjukkan di mana tempat yang aman ketika sebagian besar Gaza sudah porak-poranda.
"Kami tidak punya hak apa pun. Saya kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Saya tidak mau hidup di sini. Saya ingin keluar dari negara ini. Saya lelah dengan perang ini," kata Rania.
Israel sendiri kerap menyerang rumah yang dipenuhi satu keluarga besar pengungsi Palestina. Angkatan Bersenjata Israel (IDF) selalu mengaku menyasar anggota Hamas yang bersembunyi.
Serangan udara yang menghancurkan rumah-rumah penduduk ini umumnya dilangsungkan pada tengah malam tanpa peringatan lebih dulu.
Apabila timbul korban sipil, Israel kerap menyalahkan Hamas dan mengaku selalu berusaha menghindari jatuhnya korban sipil.
Militer Israel pun enggan berkomentar mengenai serangan yang membunuh kedua anak Rania, sebatas menyatakan pihaknya "mengikuti hukum internasional dan mengambil tindakan pencegahan yang memadai untuk memitigasi jatuhnya korban sipil."
Menurut data terkini Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, serangan Israel telah membunuh setidaknya 30.534 orang, lebih dari setengahnya adalah perempuan dan anak-anak. Sekitar 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza pun telah mengungsi. Seperempat penduduk Gaza terancam kelaparan akibat blokade total Israel.
Kata petugas-petugas lembaga kemanusiaan, selama operasi militer dan blokade total Israel masih berlangsung, anak-anak Gaza seperti bayi kembar Rania terancam kehidupannya. Bagi anak-anak yang terhindar dari bom Israel, kehidupan pun bak neraka karena ancaman kelaparan dan dehidrasi di tengah pengepungan.
"Rasa putus asa dan tak berdaya di antara para dokter dan orang tua (di Gaza) pasti tak tertahankan, menyadari bahwa bantuan penyambung hidup yang hanya beberapa kilometer di luar ditahan di luar jangkauan. Namun, yang lebih buruk adalah tangis penderitaan bayi-bayi yang pelan-pelan musnah di depan mata dunia," kata Direktur Regional UNICEF Adele Khodr.
Baca Juga: Ratusan Orang Kelaparan Dibantai Israel saat Antre Bantuan, Warga Palestina: Darah Kami Sangat Murah
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.