Menurut Institute for African Women in Law, Sebutinde berasal dari keluarga sederhana dan lahir pada periode Uganda sedang aktif berjuang untuk meraih kemerdekaan dari kolonialisme Inggris.
Sebutinde bersekolah di Lake Victoria Primary School di Entebbe, Uganda. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, dia pergi ke SMA Gayaza. Kemudian, dia mengejar gelar sarjana hukum di Universitas Makerere dan mendapatkan gelar sarjana hukum pada tahun 1977, pada usia 23 tahun.
Kemudian, tahun 1990 pada usia 36 tahun, dia pergi ke Skotlandia di mana dia meraih gelar master hukum dengan pujian dari Universitas Edinburgh. Tahun 2009, universitas yang sama memberinya gelar doktor hukum, mengakui kontribusinya terhadap layanan hukum dan yudisial.
Sebelum terpilih ke ICJ, Sebutinde adalah hakim Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone. Dia diangkat ke posisi tersebut pada tahun 2007.
Pada Februari 2011, Sebutinde adalah salah satu dari tiga hakim yang memimpin dalam pengadilan mantan Presiden Liberia, Charles Taylor, atas kejahatan perang yang dilakukan di Sierra Leone.
Melompat ke tahun 2024, Sebutinde sekali lagi menjadi buah bibir, kali ini karena menjadi satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang semua langkah yang diminta oleh Afrika Selatan dalam kasus genosida mereka terhadap Israel.
Baca Juga: Hamas Respons Keputusan Pengadilan Internasional PBB ke Israel, Minta Dunia Tekan Zionis
Dalam pendapat tidak setuju, Sebutinde menyatakan, "Dalam pendapat ketidaksetujuan saya, sengketa antara Negara Israel dan rakyat Palestina pada dasarnya dan secara historis adalah sengketa politik."
"Ini bukan sengketa hukum yang dapat diselesaikan oleh Pengadilan," tambah Sebutinde.
Dia juga mengatakan Afrika Selatan tidak menunjukkan bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh Israel "dilakukan dengan maksud genosida yang direncakanan, dan sebagai hasilnya, mereka tidak mampu masuk dalam cakupan Konvensi Genosida".
Para ahli berpendapat bahwa Sebutinde gagal melakukan penilaian menyeluruh terhadap situasi.
"Saya pikir yang keliru dalam pendapat tidak setuju ini adalah bahwa genosida bukanlah perselisihan politik, tetapi masalah hukum. Baik Afrika Selatan maupun Israel menandatangani Konvensi Genosida pada tahun 1948 dan menerima yurisdiksi atas pelanggaran Konvensi Genosida dan kegagalan mencegah genosida," kata Mark Kersten, profesor asisten di University of the Fraser Valley yang berfokus pada hukum hak asasi manusia, kepada Al Jazeera.
"Anda tidak bisa sekadar mengatakan ini adalah sesuatu untuk sejarah, ini adalah sesuatu untuk politik. Tentu saja, sejarah dan politik memainkan peran," tambahnya.
Sumber : Anadolu / Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.