DEIR AL-BALAH, KOMPAS.TV — Para dokter memberi Shaimaa Nabahin pilihan yang sangat sulit: kehilangan kaki kiri atau berisiko meninggal dunia.
Perempuan berusia 22 tahun itu telah dirawat di rumah sakit di Gaza selama sekitar satu minggu, setelah pergelangan kakinya patah sebagian akibat serangan udara Israel. Dokter mengatakan kepadanya bahwa dia menderita keracunan darah.
Nabahin akhirnya memilih untuk memaksimalkan peluangnya untuk bertahan hidup, dan setuju untuk mengamputasi kakinya sepanjang 15 sentimeter di bawah lutut.
Keputusan tersebut mengubah kehidupan mahasiswa ambisius tersebut.
“Seluruh hidup saya telah berubah,” kata Nabahin, berbicara dari tempat tidurnya di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di pusat Kota Deir al-Balah. “Jika saya ingin berjalan atau pergi ke mana pun, saya memerlukan bantuan,” ujarnya seperti dikutip dari The Associated Press.
Baca Juga: Pasukan Israel Serang Kamp-Kamp Pengungsi di Gaza, Usir Puluhan Ribu Orang
Pada tanggal 13 November lalu, serangan udara Israel menghantam rumah tetangga Nabahin di Bureij, sebuah kamp pengungsi perkotaan di Gaza tengah. Akibat serangan itu, pergelangan kaki dan arteri di kakinya sebagian putus oleh potongan semen yang menghujam ke dalam rumahnya akibat ledakan. Namun Nabahin masih beruntung karena nyawanya dapat diselamatkan, sedangkan sejumlah tetangganya tewas.
Dia segera dibawa ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa terdekat, di mana dokter berhasil menjahit kakinya dan menghentikan pendarahan.
Namun setelah itu, Nabahin mengatakan bahwa dia hanya mendapat sedikit perawatan atau perhatian dari para dokter. Tenaga medis kemudian kewalahan menangani semakin banyak orang yang terluka parah di tengah berkurangnya pasokan medis. Beberapa hari kemudian, kaki Nabahin pun berubah warna menjadi gelap.
“Mereka menemukan ada pecahan peluru yang meracuni darah saya,” katanya.
Kemudian Nabahin pun harus merelakan kakinya diamputasi. Amputasi tersebut berjalan lancar, namun Nabahin mengatakan dia masih merasakan sakit yang akut dan tidak bisa tidur tanpa obat penenang.
Baca Juga: Situasi Misa Natal di Gaza, Umat Serukan Perdamaian dan Gencatan Senjata
Sebelum konflik, Nabahin telah memulai studinya di bidang hubungan internasional di Gaza dan berencana melakukan studinya ke Jerman. Namun kini mimpi tersebut terasa semakin sulit. Dia mengatakan tujuannya saat ini hanyalah keluar dari Gaza, dan menyelamatkan apa yang tersisa dalam hidupnya. Dia juga berharap dapat memasang kaki palsu untuk menjalani hidup seperti sebelum masa amputasi.
Kepedihan akibat perang ini tidak hanya dialami Nabahin. Selain dirinya, lebih dari 54.500 orang yang terluka akibat perang juga menghadapi pilihan-pilihan menyedihkan yang serupa.
Organisasi Kesehatan Dunia dan Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas mengatakan amputasi telah menjadi hal biasa selama perang Israel-Hamas, yang kini memasuki minggu ke-12. Rumah sakit di Deir al-Balah, akhir-akhir ini telah mengamputasi puluhan orang dalam berbagai tahap perawatan dan pemulihan.
Para ahli percaya bahwa dalam beberapa kasus, anggota tubuh bisa diselamatkan dengan perawatan yang tepat. Namun setelah berminggu-minggu serangan udara dan darat Israel, hanya sembilan dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih beroperasi. Jumlah pasien di klinik ini sangat banyak, sedangkan perawatannya terbatas, dan peralatan dasar untuk melakukan operasi tidak mencukupi. Banyak yang terluka tidak dapat mencapai rumah sakit yang tersisa, akibat pemboman Israel dan pertempuran darat.
Sean Casey, seorang pejabat WHO yang baru-baru ini mengunjungi beberapa rumah sakit di Gaza, mengungkapkan kurangnya dokter bedah vascular, yang merupakan responden pertama terhadap cedera trauma dan berada pada posisi terbaik untuk menyelamatkan anggota tubuh. Kurangnya dokter bedah vascular meningkatkan kemungkinan amputasi.
Namun dalam banyak kasus, cedera yang parah menyebabkan beberapa anggota tubuh tidak dapat diselamatkan, dan perlu diangkat sesegera mungkin.
“Orang mungkin meninggal karena infeksi yang mereka derita karena anggota tubuh mereka terinfeksi,” kata Casey pada konferensi pers pekan lalu. “Kami menghadapi pasien yang menderita sepsis.”
Baca Juga: Terungkap, Horor Pembantaian Israel di Sekolah di Gaza Utara: Anak-Anak dan Bayi Dieksekusi Brutal
Sebelum perang, sistem kesehatan Gaza sudah kewalahan karena konflik bertahun-tahun dan blokade perbatasan yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir sebagai tanggapan atas pengambilalihan wilayah tersebut oleh Hamas pada tahun 2007. Kemudian pada tahun 2018 dan 2019, ribuan orang terluka akibat tembakan tentara Israel dalam protes mingguan anti-blokade yang dipimpin Hamas, dan lebih dari 120 orang yang terluka telah diamputasi anggota tubuhnya.
Meski begitu, warga Gaza yang diamputasi kesulitan mendapatkan prostesis yang dapat membantu mereka kembali ke kehidupan aktif seperti sebelum masa amputasi.
Di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa, banyak pasien baru yang diamputasi berjuang untuk memahami bagaimana kehilangan anggota tubuh telah mengubah hidup mereka. Nawal Jaber, 54 tahun, kedua kakinya diamputasi setelah terluka pada 22 November.
“Saya berharap bisa memenuhi kebutuhan anak-anak saya, (tetapi) saya tidak mampu,” kata ibu delapan anak ini, dengan air mata berlinang di wajahnya.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.