Adnan menyatakan bahwa gejala-gejala ini dapat memburuk selama perang yang berlangsung.
"Pengungsian menyebabkan stres yang ekstrem dan hal itu mempengaruhi tubuh perempuan dan hormonnya," jelasnya.
Adnan juga menekankan bahwa peningkatan gejala fisik terkait menstruasi, seperti sakit perut, punggung, sembelit, dan kembung, bisa terjadi. Selain itu, perempuan mungkin mengalami insomnia, kegugupan yang berkelanjutan, dan ketegangan yang ekstrem.
Saat ini, Adnan mencatat bahwa semakin banyak perempuan yang terbuka untuk menggunakan pil penunda haid sebagai solusi untuk menghindari rasa malu akibat kurangnya kebersihan, privasi, dan ketersediaan produk kesehatan.
Meskipun Adnan memahami kesulitan yang dihadapi saat ini, tetapi ia menegaskan bahwa dalam situasi normal, berkonsultasi dengan dokter sebelum menggunakan pil penunda haid, sangat penting untuk memahami efek dan dampak penggunaan berkelanjutan pada kesehatan fisik perempuan.
Adnan menyatakan bahwa pil tersebut dapat memengaruhi perubahan hormon alami perempuan, penentuan tanggal menstruasi bulan berikutnya, mengatur jumlah darah yang keluar, dan menentukan apakah pil tersebut dapat menghentikan menstruasi.
Baca Juga: Militer Israel Bergerak ke Selatan Gaza Usai 3 Hari Pengeboman, Warga Palestina Kian Terancam
Samira al-Saadi, yang mengungsi bersama keluarganya di sebuah sekolah yang dikelola PBB di sebelah barat Khan Younis, merasa terbatas dalam membantu putrinya yang berusia 15 tahun, yang baru saja mengalami menstruasi pertama kali pada beberapa bulan yang lalu.
Dalam lingkungan tempat penampungan yang penuh sesak, wanita berusia 55 tahun itu menyatakan bahwa putrinya sangat membutuhkan pembalut dan air untuk mandi, namun kebutuhan dasar ini tidak dapat terpenuhi.
Samira merasa khawatir untuk membelikan putrinya pil penunda haid karena ia memiliki kekhawatiran terkait dampak kesehatan putrinya.
"Dia tidak mengerti mengapa dia harus mengalami semua ini. Saya mencoba membantunya, tetapi apa yang ia butuhkan tidak tersedia." Ungkap Samira dengan nada keprihatinan.
Selain Samira, Ruba Seif, bersama keluarganya, juga tinggal di tempat penampungan dan menggambarkan kondisi yang sulit.
Dengan tanpa privasi, kamar mandi tanpa air mengalir, dan keterbatasan untuk mencari kebutuhan, perempuan 35 tahun itu mengungkapkan kesulitannya.
"Saya tidak dapat mengatasi kram menstruasi di tengah rasa takut konstan, kurang tidur, dan kedinginan karena kurangnya selimut," ungkapnya.
Ruba, yang aktif merawat keempat anaknya, yang termuda berusia dua tahun dan yang tertua berusia 10 tahun, merasa stres memikirkan cara menghadapi menstruasi di lingkungan tempat penampungan.
Beruntungnya, setelah meminta bantuan kepada saudaranya, Ruba berhasil menemukan pil penunda haid setelah mencarinya di beberapa apotek.
Ruba menyampaikan bahwa perempuan di sekitarnya di tempat penampungan, terutama di sekolah, telah meminta pil penunda haid darinya.
"Salah satu dari mereka mengatakan kepada saya bahwa dia telah melalui masa terburuk dalam hidupnya. Saya tahu efek samping negatifnya, tetapi pil ini tidak lebih berbahaya daripada rudal, kematian, dan kehancuran di sekitar kita." ujarnya
Kembali ke kamp pengungsian Deir el-Balah, Salma mengekspresikan keprihatinan atas dampak psikologis dan fisik perang terhadap perempuan.
Mereka tidak hanya harus mengatasi masalah kesehatan seperti menstruasi, tetapi juga menghadapi tanggung jawab merawat anak-anak, yang merupakan sumber utama perlindungan, jaminan, dan dukungan.
"Dalam perang, kita dipaksa untuk melakukan apa pun yang kita bisa," katanya, merujuk pada keterbatasan pilihan dalam situasi penderitaan. "Tidak pernah ada pilihan."
Sumber : Al Jazeera
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.