TEL AVIV, KOMPAS.TV - Kementerian Israel hari Senin, (30/10/2023) membuat gempar seluruh dunia usai bocornya dokumen berisi rencana kontroversial untuk memindahkan secara paksa lebih dari 2,3 juta warga sipil Gaza ke Semenanjung Sinai Mesir. Rencana ini menimbulkan kecaman keras dunia dan dari warga Gaza yang tak bersalah. Hal ini diyakini memperdalam ketegangan dan ketakutan mereka.
Namun kantor PM Benyamin Netanyahu berdalih dan besikap meremehkan laporan bikinan Kementerian Intelijen itu, sebagai latihan teoritis belaka, sekedar "kertas konsep," seperti laporan Associated Press, Selasa, (31/10/2023).
Tapi tidak bagi warga Gaza yang selama puluhan tahun mengalami penderitaan akibat konflik berkepanjangan. Rencana ini adalah mimpi buruk yang menghidupkan kembali kenangan pahit tentang Nakba, atau pengusiran mereka dari tanah air selama pertempuran pembentukan Israel pada tahun 1948.
"Kami menentang pemindahan ke mana pun, dalam bentuk apa pun, dan kami menganggapnya sebagai garis merah yang tidak akan kami izinkan dilanggar," tegas Nabil Abu Rudeineh, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas, mengomentari laporan tersebut. "Apa yang terjadi pada tahun 1948 tidak akan diizinkan terulang."
Pemindahan paksa besar-besaran, seperti yang diusulkan, dianggap sebagai "deklarasi perang baru" oleh Abu Rudeineh.
Israel melakukan serangan udara terhadap Gaza sejak tanggal 7 Oktober setelah Hamas melancarkan serangan ke wilayah Israel. Jumlah korban jiwa warga Palestina yang dibunuh serangan Israel di Jalur Gaza hingga hari ini mencapai 8.306 orang menurut Kementerian Kesehatan di wilayah Gaza.
Jumlah korban itu termasuk 3.457 anak-anak dan 2.136 perempuan, sementara lebih dari 21.048 orang lainnya mengalami luka-luka. Kementerian Kesehatan juga mencatat 25 rumah sakit terpaksa berhenti beroperasi dan 25 ambulans menjadi sasaran serangan udara Israel.
Baca Juga: PM Israel Netanyahu Tegaskan Tidak Akan Setuju Gencatan Senjata, "Ini Waktunya Berperang"
Untuk Menjaga Keamanan Israel?
Dokumen ini terbit tanggal 13 Oktober, hanya enam hari setelah kelompok Hamas menyerbu masuk dan membunuh lebih dari 1.500 orang di selatan Israel serta menyandera lebih dari 240 orang dalam serangan yang memicu perang menghancurkan di Gaza. Dokumen ini pertama kali diungkapkan oleh Sicha Mekomit, sebuah situs berita lokal.
Dalam laporannya, Kementerian Intelijen, yang merupakan bagian pemerintah yang melakukan penelitian tetapi tidak menetapkan kebijakan, menawarkan tiga alternatif "untuk mengubah realitas warga sipil di Gaza sebagai respons atas tindakan kejam Hamas yang memicu perang yang merenggut banyak nyawa."
Namun, pilihan yang diajukan dalam dokumen tersebut dianggap mengarah pada keamanan Israel, meskipun dengan konsekuensi yang tidak dapat diprediksi.
Dokumen tersebut mengusulkan pemindahan warga sipil Gaza ke kota-kota tenda pengungsi di utara Sinai Mesir, lalu membangun kota permanen dan koridor kemanusiaan yang tujuannya tidak jelas.
Namun, yang membuat warga Gaza semakin ketakutan adalah rencana untuk mendirikan zona keamanan di dalam wilayah Israel yang akan mencegah warga Palestina yang terusir untuk kembali ke tanah air mereka. Dokumen tersebut tidak menyebutkan apa yang akan terjadi pada Gaza setelah penduduknya dipindahkan semua.
Kementerian Luar Negeri Mesir belum memberikan tanggapan resmi mengenai rencana ini. Mesir sudah lama mengidentifikasi bahwa Israel ingin mengusir secara permanen seluruh warga Palestina ke wilayah mereka, seperti yang terjadi selama perang kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
Pada masa itu, Mesir memerintah Gaza antara tahun 1948 dan 1967, sebelum Israel merebut wilayah ini, bersama dengan Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Sebagian besar penduduk Gaza adalah keturunan pengungsi Palestina yang terusir dari wilayah yang sekarang menjadi Israel.
Presiden Mesir, Abdel Fattah El-Sissi, berpendapat masuknya gelombang pengungsi dari Gaza akan menghilangkan perjuangan nasional Palestina untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, dan berpotensi membawa militan ke Sinai, tempat mereka dapat melancarkan serangan terhadap Israel, yang berarti melanggar perjanjian perdamaian tahun 1979 antara kedua negara.
Sissi mengusulkan agar Israel menampung warga Palestina di Gurun Negev, yang berdekatan dengan Gaza, di tengah konflik berlanjut.
Baca Juga: Mantan Sekjen NATO Javier Solana: Netanyahu Adalah Politikus Terburuk dalam Sejarah Israel
Dampak Besar Terhadap Hubungan Regional
Yoel Guzansky, seorang peneliti senior di Institut Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv, mengatakan dokumen ini bisa merusak hubungan Israel dengan mitra penting mereka.
"Jika dokumen ini benar, ini adalah kesalahan serius. Ini bisa menyebabkan perpecahan strategis antara Israel dan Mesir," kata Guzansky, yang mengklaim telah memberikan konsultasi kepada kementerian tersebut sebelumnya. "Saya melihatnya sebagai ketidaktahuan atau upaya seseorang untuk merusak hubungan Israel-Mesir, yang sangat penting pada tahap ini."
Mesir adalah mitra berharga yang berkerjasama di balik layar dengan Israel, katanya. Jika Mesir terlihat membantu rencana Israel seperti ini, terutama yang melibatkan Palestina, itu bisa "menghancurkan stabilitas" kawasan tersebut.
Baca Juga: Presiden Mesir dan Presiden AS: Warga Gaza Tak Boleh Dipindahkan
Legitimasi Dipertanyakan
Mesir tidak harus menjadi tujuan terakhir pengungsi Palestina. Dokumen ini menyebutkan bahwa Mesir, Turki, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan mendukung rencana ini baik secara finansial, atau dengan menerima warga Gaza yang terusir sebagai pengungsi dan dalam jangka panjang menjadi warga mereka. Selain itu, praktik imigrasi yang lebih lunak di Kanada juga menjadikan negara itu sebagai target lokasi warga Palestina di Gaza yang diusir Israel.
Meski demikian, pada pandangan pertama, proposal ini "dapat menjadi rumit dalam hal legitimasi internasional," seperti yang diakui oleh dokumen tersebut. Namun dokumen menyebut bahwa hal itu akan memperkecil korban sipil. "Menurut penilaian kami, pertempuran setelah warga sipil dievakuasi akan menyebabkan lebih sedikit korban sipil dibandingkan jika warga tetap tinggal."
Seorang pejabat Israel yang mengenal dokumen tersebut mengatakan dokumen tersebut tidak mengikat dan tidak ada diskusi substantif tentangnya dengan pejabat keamanan. Kantor Perdana Menteri Netanyahu menyebutnya sebagai "kertas konsep belaka, seperti yang disusun di semua tingkat pemerintahan dan lembaga keamanan."
Dokumen ini menolak dua opsi lain: mengembalikan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat sebagai penguasa di Gaza, atau mendukung rezim lokal. Dokumen ini menilai bahwa kedua opsi tersebut tidak mampu untuk mencegah serangan terhadap Israel.
Pengembalian Otoritas Palestina, yang diusir dari Gaza setelah perang satu minggu pada tahun 2007 yang mengangkat Hamas berkuasa, dianggap akan menjadi "kemenangan luar biasa bagi pergerakan nasional Palestina" tetapi juga berpotensi merenggut banyak nyawa warga sipil dan tentara Israel, tanpa memberikan jaminan keamanan yang memadai bagi Israel.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.