Kompas TV internasional kompas dunia

Kisah Pilu Dokter-dokter Gaza, Memutuskan Siapa yang Diutamakan di Tengah Pengeboman Israel

Kompas.tv - 22 Oktober 2023, 16:11 WIB
kisah-pilu-dokter-dokter-gaza-memutuskan-siapa-yang-diutamakan-di-tengah-pengeboman-israel
Petugas medis Palestina mengelilingi seorang bayi yang luka parah akibat pemboman Israel di Khan Younis, Gaza, Sabtu, (21/10/2023). Kekurangan serius pasokan medis, termasuk ventilator, memaksa tim medis memprioritaskan nyawa yang masih dapat diselamatkan daripada yang perlu perawatan intensif. (Sumber: AP Photo)
Penulis : Edwin Shri Bimo | Editor : Desy Afrianti

KHAN YOUNIS, KOMPAS.TV - Rumah sakit-rumah sakit di seluruh Gaza tengah berjuang keras untuk mencari pasokan bahan bakar guna menjaga suplai listrik ruang rawat kritis dan ruang operasi tetap menyala dan melanjutkan misi penyelamatan bagi para pasien luka yang terus mengalir.

Kekurangan serius pasokan medis, termasuk ventilator, memaksa tim medis memprioritaskan nyawa yang masih dapat diselamatkan daripada yang perlu perawatan intensif, ujar Dr. Mohammed Qandeel, yang bertugas di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, sebagaimana dilaporkan oleh Associated Press, Minggu, (22/10/2023).

"Ini membuat hati teriris," kata Qandeel kepada Associated Press. "Setiap hari, ketika kami menerima sepuluh pasien berluka parah, kami harus mengelola mereka dengan hanya tiga atau lima tempat tidur di ICU yang tersedia. Kami harus memilih siapa yang harus menghadapi kematian, atau kami rawat di unit perawatan biasa dengan perawatan terbatas, karena sebagai tim medis, di antara dua pasien dalam kondisi hidup dan mati, kami harus memberikan ventilator kepada pasien yang berpeluang lebih besar untuk pulih dalam 24 jam."

Sebagian besar departemen di rumah sakit terbenam dalam kegelapan karena staf medis hanya mengizinkan aliran listrik ke departemen kritis di mana nyawa pasien berada dalam bahaya.

Hari Jumat, stok bahan bakar rumah sakit hampir habis, tetapi berhasil mendapatkan tangki baru dari stok UNRWA pada hari Sabtu, kata Qandeel. "Jumlah ini seharusnya cukup untuk tiga hingga lima hari," katanya.

Ketika serangan Israel semakin intensif dan para korban membanjiri rumah sakit di Kota Gaza tempat Dr. Nidal Abed bekerja, dia merawat pasien di mana pun ada tempat: di lantai, di koridor, di kamar yang penuh dengan sepuluh pasien alih-alih dua.

Tanpa pasokan medis yang memadai, Abed berusaha dengan apa yang bisa dia temukan, seperti menggunakan pakaian sebagai perban, cuka sebagai antiseptik, dan jarum jahit untuk tindakan operasi.

Baca Juga: Kenyataan Memilukan Sekaligus Mengerikan Rumah Sakit Gaza: Tiada Pasokan, Tempat Tidur, dan Anestesi

Seorang anak perempuan Palestina dirawat di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir Al-Balah, tengah Jalur Gaza, Minggu (15/10/2023) usai terkena serangan udara Israel. (Sumber: Adel Hana/Associated Press)

Rumah sakit di Jalur Gaza semakin mendekati ambang kehancuran akibat blokade Israel yang memutus pasokan listrik, makanan, dan barang kebutuhan pokok lainnya di wilayah tersebut.

Bahkan pasokan air bersih semakin menipis. Mereka kekurangan obat-obatan dasar untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah infeksi. Bahan bakar untuk generator mereka semakin mengecil.

"Kami mengalami kekurangan segala sesuatu, sementara kami harus menangani operasi yang sangat rumit," kata Abed, yang bekerja dengan Medecins sans Frontieres kepada Associated Press dari Rumah Sakit Al Quds.

Meskipun militer Israel memberikan perintah evakuasi hari Jumat, rumah sakit ini tetap beroperasi dan masih merawat ratusan pasien. Selain itu, sekitar 10.000 warga Palestina yang terusir akibat serangan juga mencari perlindungan di kompleks rumah sakit ini, "Semua orang ini sangat ketakutan, dan saya juga," kata Abed, "Tetapi tidak mungkin bagi kami untuk evakuasi."

Kekurangan persediaan medis memaksa sebagian staf menggunakan jarum jahit untuk menjahit luka, yang dapat merusak jaringan. Kekurangan perban memaksa petugas medis membungkus luka bakar dengan pakaian, yang bisa menyebabkan infeksi.

Kekurangan implan ortopedi memaksa Abed menggunakan sekrup yang tidak sesuai dengan tulang pasien. Antibiotik pun semakin langka, sehingga dia memberikan satu tablet alih-alih serangkaian dosis kepada pasien yang menderita infeksi bakteri yang serius.

Baca Juga: Bagaimana Hukum Internasional Berlaku dalam Perang? Kenapa Hamas dan Israel Dituduh Melanggar?

Seorang ibu warga Palestina di Khan Younis menggendong jasad keluarganya yang sudah terbungkus kafan usai menjadi korban serangan udara Israel hari Sabtu, (21/10/2023) (Sumber: AP Photo)

Rumah Sakit Shifa, dengan kapasitas maksimal 700 orang, sekarang merawat 5.000 orang, kata direktur umum Mohammed Abu Selmia.

Antrian pasien, sebagian dalam kondisi kritis, mengular keluar dari ruang operasi. Para korban serangan berbaring di lantai atau di tempat tidur roda, yang terkadang masih terkena noda darah dari pasien sebelumnya. Dokter melakukan operasi di koridor yang penuh dengan jeritan pasien.

Adegan-adegan seperti ini, bayi yang datang sendiri ke unit perawatan intensif karena tidak ada anggota keluarga lain yang selamat, pasien yang sadar dan merintih kesakitan selama operasi, membuat Abed merasa mati rasa.


Namun, yang masih membuatnya merasa kesakitan adalah saat dia harus memilih pasien mana yang harus diutamakan. "Kami harus memutuskan," katanya. "Karena kami tahu banyak dari mereka tidak akan selamat."

Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa penggunaan harian bahan medis selama perang setara dengan penggunaan bulanan mereka sebelum perang.




Sumber : Associated Press




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x