LONDON, KOMPAS.TV - Baik Hamas maupun Israel dituduh melanggar hukum internasional selama konflik terbaru mereka, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan mereka sedang mengumpulkan bukti-bukti kejahatan perang oleh semua pihak.
Menerapkan hukum di tengah kabut perang adalah hal yang sulit. Sementara, menyelidiki pelaku setelah konflik selesai, sering kali sulit diwujudkan. Berikut adalah gambaran beberapa isu yang ada terkait aturan peperangan dan pertanggunganjawabnya.
Aturan konflik bersenjata diatur oleh seperangkat hukum dan resolusi yang diakui secara internasional, termasuk Piagam PBB yang melarang perang agresif, tetapi memperbolehkan suatu negara untuk melakukan pembelaan diri.
Perilaku di medan perang diatur oleh hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa, yang disusun setelah Perang Dunia II dan disetujui hampir setiap negara.
Empat konvensi yang disepakati tahun 1949 menetapkan bahwa warga sipil, luka-luka, dan tahanan harus diperlakukan secara manusiawi dalam situasi perang. Mereka melarang pembunuhan, penyiksaan, pengambilan sandera, dan perlakuan merendahkan dan memalukan, serta mengharuskan para pelaku perang untuk merawat orang sakit dan luka dari pihak lawan.
Aturan-aturan ini berlaku baik untuk perang antarnegara maupun konflik seperti antara Israel dan Hamas, di mana salah satu pihak bukan merupakan negara.
Dokumen penting lainnya dalam hukum perang adalah Statuta Roma tentang Pengadilan Pidana Internasional yang mendefinisikan kejahatan perang sebagai tindakan-tindakan termasuk serangan yang disengaja terhadap warga sipil, permukiman warga sipil, atau pekerja kemanusiaan, menghancurkan properti yang tidak diperlukan secara militer, kekerasan seksual, dan deportasi ilegal.
Kesepakatan lainnya melarang jenis senjata tertentu, seperti amunisi kimia atau biologis. Sebagian besar negara telah menandatangani kesepakatan-kesepakatan ini, meskipun tidak semua.
Baca Juga: Joe Biden: Tidak Perlu Jadi Orang Yahudi untuk Jadi Zionis, Saya adalah Seorang Zionis
Hamas menembakkan ribuan roket ke kota dan wilayah Israel, dan pada 7 Oktober mengirimkan lebih dari seribu kombatan melintasi perbatasan dari Gaza. Mereka menyerang dan membunuh warga sipil, termasuk anak-anak dan orang tua, dan warga Muslim Israel di rumah dan lingkungan mereka, serta menculik puluhan orang lain. Israel mengatakan setidaknya 1.400 orang tewas dan 199 orang lain diculik.
Haim Abraham, dosen hukum di University College London, mengatakan bukti-bukti tindak kejahatan sangat jelas.
"Mereka membantai warga sipil di rumah mereka. Mereka menculik warga sipil, menjadikan mereka sebagai sandera. Semua tindakan ini dengan jelas merupakan kejahatan perang," katanya.
Jeanne Sulzer, pengacara dari Komisi Keadilan Internasional Amnesty International Perancis, mengatakan Konvensi Jenewa menyatakan "warga sipil seharusnya tidak dijadikan sandera. Jika mereka dijadikan sandera, itu dapat dikarakterisasi sebagai kejahatan perang."
Baca Juga: Israel Mengaku Persiapkan Tahap Perang Selanjutnya, Segera Invasi Darat ke Gaza?
Militer Israel melancarkan serangan udara terhadap Gaza yang dikuasai Hamas, memblokir pengiriman makanan, air, bahan bakar, dan listrik, serta menginstruksikan warga untuk meninggalkan bagian utara wilayah tersebut sebelum kemungkinan invasi darat. Otoritas Gaza mengatakan 2.800 orang tewas dan 11.000 lainnya terluka selama beberapa hari serangan berlangsung.
Para pengkritik menuduh Israel melakukan hukuman kolektif terhadap penduduk Gaza sebanyak 2 juta orang.
Komite Palang Merah Internasional ICRC berbasis di Jenewa mengatakan instruksi kepada ratusan ribu orang untuk meninggalkan rumah mereka, "dalam kombinasi dengan pengepungan yang secara eksplisit melarang akses makanan, air, dan listrik, tidak sesuai dengan hukum humaniter internasional."
Tentara Israel mengatakan mereka mengikuti hukum internasional dan hanya menyerang target militer yang sah dalam upaya memberantas milisi yang bersembunyi di antara populasi sipil.
Human Rights Watch menuduh Israel menggunakan amunisi yang mengandung fosfor putih. Bahan berbahaya ini tidak dilarang, tetapi penggunaannya di daerah padat penduduk banyak mendapat kutukan. Pasukan Israel membantah menggunakan fosfor putih sebagai senjata di Gaza.
Baca Juga: Biden Samakan Putin dengan Hamas: Mereka berdua Ingin Musnahkan Demokrasi di Negara Tetangga
Komisi Penyelidikan PBB mengatakan mereka "mengumpulkan dan menyimpan bukti-bukti kejahatan perang yang dilakukan oleh semua pihak" dalam konflik saat ini. Bukti tersebut dapat ditambahkan ke dalam penyelidikan yang sedang berlangsung oleh Pengadilan Pidana Internasional (ICC) terkait situasi di wilayah Palestina.
ICC yang berbasis di Belanda punya wewenang untuk menuntut pejabat suatu negara karena pelanggaran dan untuk mengeluarkan kompensasi bagi korban. Tetapi beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Israel, tidak mengakui yurisdiksi pengadilan tersebut, dan ICC tidak memiliki kepolisian untuk mengeksekusi surat perintah penangkapan.
Meskipun ICC adalah satu-satunya pengadilan internasional permanen yang dibentuk untuk menuntut kejahatan perang, pengadilan internasional lainnya termasuk Mahkamah Internasional dan Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa, dapat mengadili kasus yang terkait dengan pelanggaran yang diduga terjadi.
Demikian pula, pengadilan nasional di Israel atau di negara lain bisa mendengarkan kasus yang berkaitan. Di bawah hukum Amerika Serikat, korban Amerika dapat mencoba mengajukan tuntutan kompensasi terhadap Hamas di pengadilan AS.
Seperti dalam invasi Rusia di Ukraina, kemungkinan menuntut kejahatan perang dalam konflik saat ini tampaknya sulit. Namun, Sulzer Amnesty International mengatakan "inisiatif hukum sudah menjadi kenyataan". Ia mengatakan korban warga negara Prancis dan warga ganda serangan Hamas telah mengajukan tuntutan di pengadilan Prancis.
Pelanggaran hukum internasional juga dapat memicu sanksi, seperti yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara lain terhadap Rusia atas serangan ke Ukraina, dan dalam kasus langka dapat memicu intervensi militer yang diotorisasi oleh PBB.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.