JERUSALEM, KOMPAS.TV - Otoritas Palestina adalah badan pemerintahan yang mengelola wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel sejak pertengahan tahun 90-an. Pembentukannya seharusnya membuka jalan menuju negara Palestina yang merdeka, tetapi saat ini dianggap memiliki sedikit kekuasaan nyata dan beroperasi di bawah kendali militer Israel.
Otoritas Palestina didominasi oleh Fatah, sebuah partai politik sekuler yang didirikan oleh warga Palestina diaspora setelah Nakba 1948, atau "Bencana." Fatah juga merupakan kekuatan pendorong Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), sebuah organisasi payung yang terdiri dari beberapa partai politik dan mengklaim mewakili orang Palestina di seluruh dunia.
Berikut yang perlu Anda ketahui tentang Otoritas Palestina dan perbedaannya dengan Kelompok Hamas sesuai laporan dari Al Jazeera, Kamis (12/10/2023):
Otoritas Palestina dibentuk pertengahan tahun 90-an sebagai badan pemerintahan interim yang akan membuka jalan menuju berdirinya negara Palestina merdeka berdasarkan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Itu adalah hasil dari Perjanjian Oslo antara pemerintah Israel dan PLO, yang saat itu dipimpin oleh Yasser Arafat. Saat ini, perjanjian tersebut hampir hancur, dengan Israel memperluas pemukiman dan jalan bypass di Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai aneksasi wilayah de facto yang seharusnya menjadi bagian dari negara Palestina. Putaran terakhir pembicaraan hancur tahun 2014.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Janji Inggris dalam Deklarasi Balfour hingga Pembantaian Nakba (I)
Saat ini, perpecahan politik dan teritorial partai Fatah pimpinan Mahmoud Abbas di Tepi Barat dan Kelompok Hamas di Jalur Gaza semakin mengakar.
Kedua wilayah tersebut tumbuh menjadi entitas yang sangat berbeda, Otoritas Palestina yang dimotori gerakan Fatah menikmati pengakuan dan dukungan internasional, sementara Gaza di bawah Hamas, yang ditetapkan sebagai kelompok teroris oleh Barat, semakin terisolasi. Mesir membantu Israel menjalankan blokade darat, laut, dan udara di Gaza selama 17 tahun terakhir.
Upaya tahun 2014 untuk mendirikan Pemerintahan Persatuan Nasional yang menyatukan kedua kelompok itu gagal. Tiga tahun kemudian, kesepakatan rekonsiliasi yang mungkin membuat Hamas menyerahkan kendali administratif Gaza terhenti oleh perselisihan tentang penghancuran senjata.
Pada tahun 2022, perwakilan dari 14 faksi Palestina berkumpul di Aljazair untuk menandatangani kesepakatan rekonsiliasi baru, dengan rencana untuk mengadakan pemilihan parlemen pada akhir 2023, itu akan menjadi pemilu pertama dalam 17 tahun.
Sejak tahun 2007, Hamas telah menjadi penguasa de facto di Jalur Gaza, setelah mengalahkan partai Fatah yang telah lama mendominasi dalam pemilihan parlemen Presiden Mahmoud Abbas.
Kelompok Hamas dan Gerakan Fatah punya perbedaan sangat mendasar, yaitu secara ideologi. Hamas berideologi Islamis sementara Fatah berideologi Sekuler, dalam aspek strategi terhadap Israel. Hamas mengambil jalur Perlawanan bersenjata sementara Fatah mengambil jalur perundingan dan musyawarah.
Secara tujuan, Hamas tidak mengakui Israel, tetapi menerima negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 sementara Fatah mengakui Israel dan ingin membangun negara berdasarkan perbatasan tahun 1967. Kemudian, Hamas mendorong Fatah keluar dari Gaza ketika Fatah menolak mengakui hasil pemungutan suara.
Meskipun kedua kelompok tersebut bekerja menuju tujuan yang sama untuk mewujudkan negara Palestina di wilayah yang diduduki Israel pada tahun 1967, termasuk Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat, ada beberapa perbedaan yang mencolok.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Perang 6 Hari Naksa dan Intifada Pertama yang Lahirkan Hamas (II)
Fatah adalah singkatan dari Harakat al-Tahrir al-Filistiniya atau Gerakan Pembebasan Nasional Palestina dalam bahasa Arab. Kata Fatah berarti menaklukkan.
Gerakan sekuler ini didirikan di Kuwait akhir tahun 1950-an oleh orang Palestina diaspora setelah Nakba 1948, atau pembersihan etnis Palestina oleh gerakan Zionis yang bertujuan menciptakan negara Yahudi modern di Palestina.
Fatah didirikan oleh beberapa orang, terutama Presiden Otoritas Palestina yang sudah meninggal, Yasser Arafat, ajudan Khalil al-Wazir dan Salah Khalaf, dan Mahmoud Abbas, yang saat ini menjabat sebagai Presiden Otoritas Palestina.
Gerakan ini didasarkan pada perlawanan bersenjata terhadap Israel untuk memerdekakan Palestina.
Sayap militer utama dari kelompok itu adalah al-Asifah, atau Badai. Pejuang al-Asifah berbasis di beberapa negara Arab serta di Tepi Barat dan Gaza.
Perjuangan bersenjata kelompok ini melawan pendudukan Israel dimulai tahun 1965. Sebagian besar operasi bersenjatanya dilakukan dari Yordania dan Lebanon.
Di bawah Yasser Arafat, dan setelah Perang Arab-Israel 1967, Fatah menjadi partai dominan dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang terdiri dari berbagai partai politik Palestina. PLO dibentuk tahun 1964 dengan tujuan memerdekakan Palestina, dan saat ini bertindak sebagai perwakilan rakyat Palestina di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah dipaksa keluar dari Yordania dan Lebanon tahun 1970-an dan 1980-an, gerakan ini mengalami perubahan mendasar, memilih untuk bernegosiasi dengan Israel.
"Pada dasarnya, orang Arab membantu memaksa Fatah setuju untuk mengambil rute diplomatik, setelah dipaksa keluar dari Beirut," kata Nashat al-Aqtash, seorang analis politik berbasis di Tepi Barat, kepada Al Jazeera.
Pada tahun 1990-an, PLO yang dipimpin oleh Fatah secara resmi menolak perlawanan bersenjata dan mendukung Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa nomor 242, yang menyerukan negara Palestina berdaulat berdasarkan perbatasan tahun 1967, yaitu Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza, berdampingan dengan negara Israel.
PLO kemudian menandatangani Perjanjian Oslo, yang mengarah pada pembentukan Otoritas Nasional Palestina, atau Otoritas Palestina, badan pemerintahan swadaya sementara yang dimaksudkan untuk menuju negara Palestina yang merdeka.
Baca Juga: Sejarah Konflik Israel-Palestina: Intifada Kedua, Perang Saudara dan Perang Gaza yang On Off (III)
Dengan dirilisnya dokumen politik Hamas pada tahun 2017, tujuan kedua partai tersebut efektif sama, yaitu menciptakan negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967.
"Tidak ada nilai dari klausul di mana Hamas mengatakan bahwa mereka tidak akan melepaskan Palestina," kata al-Aqtash, analis politik. "Hamas menerima kompromi politik dan mereka tidak bisa mundur dari ini."
Perbedaan terbesar antara kedua gerakan saat ini adalah sikap mereka terhadap Israel. Sementara Hamas tetap pada perlawanan bersenjata, Fatah percaya dalam bernegosiasi dengan Israel dan sepenuhnya menolak menggunakan serangan.
Perjanjian Oslo memberikan Israel kendali penuh atas ekonomi Palestina serta masalah sipil dan keamanan di lebih dari 60 persen Tepi Barat.
Dalam perjanjian tersebut, Otoritas Palestina harus berkoordinasi dengan pendudukan Israel mengenai keamanan dan serangan perlawanan bersenjata yang direncanakan terhadap warga Israel. Ini dianggap sangat kontroversial dan dilihat oleh beberapa orang sebagai kolaborasi Otoritas Palestina dengan pendudukan Israel.
Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, secara rutin dan terang-terangan mengutuk setiap operasi perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh warga Palestina terhadap warga Israel.
Isu perlawanan bersenjata menimbulkan keraguan apakah kesepakatan persatuan yang dicapai minggu ini akan berhasil.
"Otoritas Palestina tidak percaya pada legitimasi perlawanan bersenjata Hamas. Ini berarti Otoritas Palestina ingin mengakhiri perlawanan bersenjata Hamas di Gaza dan Hamas menolak itu. Dan jika Fatah menerima perlawanan di Gaza, Israel akan mengambil tindakan melawan Otoritas Palestina," kata Abdulsattar Qassem, seorang analis politik yang berbasis di Nablus, kepada Al Jazeera.
"Ini pasti akan mengarah pada hancurnya pemerintahan persatuan."
Baca Juga: Putin: Kapal Induk AS ke Palestina Untuk Menakuti Siapa? Disana Semua Orang Sudah Tidak Takut Apapun
Secara tampilan, Otoritas Palestina memiliki semua atribut sebuah negara, dengan kementerian-kementerian dan layanan sipil. Tetapi Israel yang memegang kekuasaan sebenarnya, mengendalikan pendapatan pajak, dan mengendalikan akses ke wilayah-wilayah yang semakin menyempit, status quo yang sering dibandingkan dengan Bantustan zaman apartheid di Afrika Selatan.
Israel sering melangkahi Otoritas Palestina, menginvasi wilayah yang seharusnya berada di bawah kendali Otoritas Palestina, seperti kamp pengungsi Jenin, yang diserbu tiga kali oleh tentara Israel, 20 warga Palestina tewas dalam serbuan sebelum pertempuran antara Hamas dan Israel pecah pada hari Sabtu.
Otoritas Israel juga memberlakukan jaringan pembatasan yang sangat rumit terhadap semua aspek kehidupan warga Palestina, termasuk kemana mereka dapat bepergian, dimana mereka boleh tinggal, dan membangun.
Otoritas Palestina secara aktif membantu Israel menjaga kendali ketat atas penduduk Palestina. Banyak yang menganggap badan tersebut sebagai alat dari aparat keamanan Israel, dengan pasukan yang dilatih AS tidak hanya menargetkan orang yang dicurigai merencanakan serangan terhadap warga Israel, tetapi juga menangkap tokoh serikat, jurnalis, dan kritik di media sosial.
Namun, setelah serbuan pada bulan Juli di Jenin, badan tersebut mengumumkan mereka akan menghentikan kerjasama keamanan dengan Israel.
Upaya sebelumnya untuk menghentikan kerjasama sering tidak berlangsung lama. Pada Mei 2020, sebagai tanggapan atas pernyataan Israel bahwa akan menggabungkan sebagian besar Tepi Barat, Otoritas Palestina menghentikan hubungan dengan pasukan Israel selama enam bulan.
Sumber : Al Jazeera / Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.