YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Media-media luar negeri turut menyorot penggusuran dan bentrokan di Pulau Rempang, Kepualuan Riau belakangan ini. Warga di pesisir Rempang hendak digusur untuk proyek Eco-City yang dikerjakan Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama perusahaan swasta PT Makmur Elok Graha (MEG).
Media yang berbasis di Qatar misalnya, Al Jazeera menyorot relokasi sekitar 7.500 penduduk akibat proyek Eco-City tersebut. Kebanyakan warga yang digusur sebelumnya mengandalkan penghidupan dari laut sebagai pedagang ikan atau nelayan.
Penggusuran Rempang disorot usai terjadi bentrokan antara warga dengan aparat gabungan di Jembatan Batam-Rempang-Galang pada 7 September 2023. Bentrokan ini sempat menyebabkan siswa sekolah dasar dan sekolah menengah di Rempang terkena gas air mata.
Al Jazeera menyorot kerja sama BP Batam dan PT MEG dengan perusahaan panel surya China, Xinyi Glass. Perusahaan China itu disebut menjanjikan investasi miliaran dolar untuk membuat pabrik panel surya dan kaca di Rempang.
Baca Juga: Gelar Solidaritas dan Doa untuk Warga Pulau Rempang, Muhammadiyah: Daulat Rakyat Masih Ada
Ian Wilson, akademisi Universitas Murdoch Australia yang meneliti penggusuran paksa di Indonesia, menyebut situasi di Rempang sebagai bagian dari "praktik umum (pemerintah) melihat penduduk setempat sebagai penghambat pembangunan."
"Itu adalah cara kekerasan yang struktural dalam menangani masyarakat," kata Wilson dikutip Al Jazeera, Jumat (15/9/2023).
Sementara itu, tokoh masyarakat Melayu Kepulauan Riau, Raja Zainudin menyebut pemerintah tidak memahami masyarakat adat Melayu. Ia menyebut warga setempat telah memanfaatkan daratan dan lautan Rempang selama berabad-abad untuk menyambung hidup.
"Mereka yang ingin membangun di pulau ini harus memahami sejara. Belajarlah sejarah, belajar tentang kebudayaannya, dan belajar cara hidup masyarakat setempat," kata Raja.
Senada dengan Raja Zainudin, Ian Wilson juga menyebut merelokasi penduduk jauh dari lokasi mata pencaharian mereka sebelumnya menunjukkan bahwa pemerintah tidak paham sifat masyarakat adat.
"Semua itu memperluas kerugian dan kemiskinan, dan mematahkan hubungan-hubungan sosial yang kompleks, yang mana disruptif secara fundamental dalam cara yang tidak dipahami pemerintah. Dalam proses membangun, mereka menghancurkan kehidupan orang-orang," kata Wilson.
Sementara itu media Malaysia, The Star menyorot respons Presiden Joko Widodo atau Jokowi terkait konflik Rempang. Sang presiden sendiri telah mengutus Menteri Investasi RI Bahlil Lahadalia untuk mengurus konflik Rempang.
The Star menyorot klaim Jokowi bahwa masyarakat setempat telah menyepakati ganti rugi tanah. Ia menyebut bentrokan Rempang terjadi karena "miskomunikasi."
Media Malaysia ini juga menyorot klaim Wali Kota Batam Muhammad Rudi bahwa konflik Rempang terjadi karena provokator eksternal.
"Terdapat banyak provokator yang membuat masyarakt setempat berpikir dua kali mengenai kesepakatan ini," kata Rudi dikutip The Star, Kamis (14/9).
Sebelumnya, Jokowi mengaku telah menghubungi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk membahas penggusuran Rempang. Jokowi menyebut urusan Rempang tidak perlu sampai ke presiden.
"Saya sudah sampaikan urusan yang di Rempang, tadi malam tengah malam saya telepon Kapolri," kata Jokowi, Rabu (13/9).
"Ini hanya salah komunikasi aja di bawah salah mengomunikasikan saja. Diberi ganti rugi, diberi lahan, diberi rumah tapi mungkin lokasinya belum tepat itu yang harusnya diselesaikan. Masa urusan begitu harus sampai presiden?" lanjutnya.
Baca Juga: Komnas HAM Duga Ada Pengerahan Aparat yang Berlebihan untuk Tangani Konflik di Pulau Rempang
Sumber : Al Jazeera, The Star, Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.