KAIRO, KOMPAS.TV - Sebuah pesawat sipil jatuh usai lepas landas di Sudan Timur, menewaskan sembilan orang, termasuk empat personel militer yang berada di pesawat, seperti pernyataan militer, Senin (24/7/2023). Insiden itu terjadi ketika konflik di negara Afrika timur laut itu mencapai 100 hari tanpa tanda-tanda mereda.
Militer mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa seorang anak berhasil selamat dari kecelakaan di Port Sudan, sebuah kota di Laut Merah yang selama ini terhindar dari perang yang menghancurkan antara militer dan Pasukan Pendukung Cepat paramiliter yang kuat, seperti dilaporkan Associated Press.
Pesawat Antonov jatuh segera setelah lepas landas dari bandara kota tersebut, menurut pernyataan militer. Pihak militer menyalahkan kegagalan teknis sebagai penyebab kecelakaan tersebut. Pernyataan itu tidak memberikan rincian lebih lanjut.
Al-Taher Abdel-Rahman, sekretaris Menteri Keuangan Gebreil Ibrahim, termasuk di antara korban tewas, menurut keterangan dari sang menteri yang berduka melalui media sosial atas meninggalnya pegawainya.
Sudan terjun ke dalam kekacauan sejak pertengahan April ketika ketegangan berbulan-bulan antara militer dan RSF meledak menjadi pertempuran terbuka di ibu kota, Khartoum, dan di tempat lain di seluruh negara.
"Telah 100 hari perang di Sudan, dengan korban jiwa dan infrastruktur yang menghancurkan, namun yang lebih buruk masih akan datang," kata William Carter, direktur Dewan Pengungsi Norwegia di Sudan.
Pertempuran tersebut telah mengubah Khartoum dan daerah perkotaan lainnya menjadi medan perang. Wilayah luas Darfur menyaksikan beberapa bentrokan kekerasan terburuk dalam konflik ini dengan pertempuran berubah menjadi bentrokan etnis.
Baca Juga: PBB: Ditemukan Kuburan Massal 87 Mayat di Darfur, Paramiliter RSF Sudan Ditengarai Pelakunya
Bentrokan ini menewaskan lebih dari 3.000 orang dan melukai lebih dari 6.000 lainnya, demikian menurut komentar televisi Menteri Kesehatan Haitham Mohammed Ibrahim bulan lalu. Namun, para dokter dan aktivis meyakini jumlah korban jiwa kemungkinan jauh lebih tinggi.
Lebih dari 2,6 juta orang mengungsi dari rumah mereka ke daerah yang lebih aman di dalam Sudan, sementara lebih dari 757.000 orang melintasi perbatasan ke negara-negara tetangga, menurut badan migrasi PBB.
Badan pengungsi PBB memperingatkan sekitar 300 anak pengungsi dari Sudan Selatan di provinsi selatan Sudan, White Nile, meninggal akibat diduga campak dan malnutrisi sejak konflik dimulai.
"Angka-angka ini luar biasa, warga sipil yang tidak terlibat dalam konflik ini terpaksa meninggalkan rumah dan mata pencaharian mereka setiap hari," kata Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi.
Konflik ini menghancurkan harapan Sudan untuk mengembalikan proses transisi negara yang rapuh menuju demokrasi, yang telah dimulai setelah pemberontakan rakyat memaksa penggulingan diktator lama Omar al-Bashir pada April 2019. Sebuah kudeta yang dipimpin oleh militer dan RSF, mengganggu transisi demokrasi pada Oktober 2021.
Carter, dari NRC, memperingatkan tentang "keruntuhan total" di negara ini karena upaya internasional selama ini gagal untuk menegakkan gencatan senjata guna memberikan bantuan kemanusiaan kepada jutaan orang yang terdampak perang.
Baca Juga: PBB: Konflik Dahsyat di Sudan Sudah Membuat Sekitar 3,1 juta Orang Mengungsi
"100 hari pertama menarik perhatian, tapi kini mulai memudar. Kita harus tetap berupaya dan menerapkan diplomasi serta mediasi untuk secara nyata mempengaruhi warga sipil di Sudan," ujarnya.
Kelompok kemanusiaan Care International menyerukan gencatan senjata dan pembentukan koridor aman guna memungkinkan pengiriman barang dan layanan dasar kepada mereka yang terjebak dalam pertempuran, serta dana untuk memenuhi kebutuhan warga Sudan yang semakin meningkat.
"Dunia tidak bisa mengabaikan situasi memburuk di Sudan karena ini berpotensi mengganggu seluruh wilayah," kata David MacDonald, direktur negara CARE di Sudan.
Sementara itu, pemimpin pro-demokrasi berkumpul Senin sore di ibu kota Mesir, Kairo, pertemuan pertama seperti ini bagi para politisi Sudan sejak pecahnya perang.
Forces of Freedom and Change, koalisi pro-demokrasi, mengatakan pertemuan dua hari ini akan membahas cara mengakhiri perang dan menghidupkan kembali proses transisi menuju demokrasi yang terhenti.
Aliansi ini, yang berkuasa bersama militer setelah penggulingan al-Bashir, reiterasi seruan mereka agar faksi-faksi yang berperang untuk menghentikan pertempuran.
Sumber : Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.