"Hanya mereka yang mengolah nikel yang punya akses ke pelabuhan internasional dan dapat langsung mengekspor produk mereka," katanya kepada Straits Times.
Meidy menambahkan pengawasan yang lemah oleh otoritas yang bertanggung jawab atas ekspor, seperti kantor bea cukai, mungkin menyebabkan pelanggaran tersebut.
"Eksportir melaporkan dokumen manifestasi kepada pejabat. Namun, apakah dokumen tersebut sesuai dengan barang yang sebenarnya dikirim? Kemungkinan besar tidak sesuai," kata Meidy seperti dikutip Straits Times.
Dalam pandangan yang serupa dengan Meidy, Direktur Eksekutif think tank Centre of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman mengatakan, karena jumlah ekspor ilegal tersebut sangat signifikan, para pelaku mungkin terkait dengan fasilitas pengolahan nikel yang dapat langsung mengekspor produk mereka ke luar negeri.
"Bijih nikel yang diekspor secara ilegal kemungkinan punya konsentrasi kurang dari 1,8 persen yang diperlukan oleh pelebur," kata Yusri kepada ST.
Baca Juga: Hipmi: Kebijakan Hilirisasi Nikel Sudah Baik, Pemerintah Harus Berani Hadapi IMF
Meidy mengatakan perbedaan antara harga domestik dan harga global mungkin menjadi penyebab pengiriman ilegal tersebut.
"Harga ekspor lebih tinggi daripada harga domestik. Itulah mengapa beberapa nikel (bijih) dijual secara ilegal ke luar negeri."
Untuk mengatasi kesenjangan harga, asosiasi sedang mempersiapkan peluncuran indeks harga nikel Indonesia tahun 2024, tambahnya.
Yusri menyarankan agar pemerintah membentuk platform informasi nikel terpadu yang terhubung secara digital, dengan data seperti produksi nikel dari perusahaan pertambangan dan pengolahan serta penjualan domestik dan ekspor perusahaan-perusahaan tersebut.
Platform ini harus dapat diakses oleh berbagai lembaga pemerintah untuk memungkinkan pengawasan yang lebih ketat dan mencegah ekspor ilegal.
Indonesia punya cadangan nikel sebanyak 21 juta ton, hampir seperempat dari cadangan dunia, menurut Survei Geologi Amerika Serikat.
Baru-baru ini, Dana Moneter Internasional (IMF) menyarankan Indonesia untuk mengakhiri larangan ekspor bijih nikel kasar, dengan menyatakan peningkatan investasi asing belum memberikan dampak signifikan, seperti penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat Indonesia.
Sementara itu, larangan ini telah menyebabkan korupsi dan pencarian keuntungan, kata IMF.
Namun, pejabat Indonesia membela kebijakan tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menerima miliaran dolar investasi asing dari perusahaan yang berminat untuk memproduksi kendaraan listrik (EV) dan baterai di negara ini.
Sumber : Straits Times
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.