“Ini adalah negara yang sangat besar, sangat beragam. Saya pikir ini akan menjadi mimpi buruk bagi dunia,” katanya dikutip dari BBC.
“Ini bukan perang antara tentara dan pemberontakan kecil. Ini hampir seperti dua pasukan, terlatih dan dipersenjatai dengan baik,” ujarnya,
Hamdok, yang menjabat sebagai perdana menteri dua kal yaitu pada 2019-2021, dan 2021 hingga 2022., menambahkan bahwa kondisi saat ini bisa menjadi lebih buruk dibanding perang saudara di Suriah dan Libya.
Perang itu juga telah menyebabkan ratusan ribu kematian, menciptakan jutaan pengungsi dan menyebabkan ketidakstabilan wilayah yang lebih luas.
Pertempuran di Sudan pecah sejak 15 April lalu, sebagai hasil dari perebutan kekauasaan yang pahit antara tentara Sudan dan juga paramiliter, Rapid Support Forces.
Baca Juga: Kiev Sambut Kesepakatan Uni Eropa tentang Ekspor Hasil Pertanian Ukraina
Komandan Angkatan Darat Sudan, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Kepala RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, tidak setuju dengan usulan negara untuk pindah ke pemerintahan sipil.
Khususnya tentang jangka waktu masuknya 100.000 tentara RSF ke dalam militer Sudan.
Kedua faksi takut kehilangan kekuasaan di Sudan, sebagian karena di kedua belah pihak ada orang yang bisa diadili di Pengadilan Kriminal Internasional atas kejahatan perang yang dilakukan di wilayah Darfur hampir 20 tahun lalu.
Jutaan orang masih terperangkap di Khartoum, di mana terjadi kekurangan makanan, air, dan bahan bakar.
Sumber : BBC
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.